Aku butuh
senyum, cinta, kasih sayang, dan perhatian. Aku sangat membutuhkan ini. Aku
ingin membungkusnya menjadi sebuh kado paling indah untuknya. Wanita yang telah
lama kukenal. Dia tak begitu dekat denganku, tetapi aku tahu dia orang baik
yang terjebak dalam dunia yang tak semestinya.
Gumuk-gumuk
pasir di pesisir pantai di kota itu membuat selalu terpana. Tapi tidak kali ini. Binatang-binatang pantai
seolah menatapku sayu dan bergumam “Bagaimana kabarnya wanita yang pernah kulihat di sini bersamamu?” aku terdiam, terpekur.
“dunia ini tak semudah
yang orang kaya’ bayangkan. Tak seindah ulama ceramakan, tak semudah penulis
menceritakan. Jika dunia muda untuk dijalani, mengapa wanita itu pergi dan
menghilang dariku. Wanita yang baik berubah menjadi jahat. Wanita yang pendiam
tiba-tiba menjadi kasar, wanita yang tak pernah tersentuh, kini menjadi wanita
sentuhan lelaki bejat yang tak punya malu. Menghamburkan uang hanya untuk tidur
semalam dengan wanita yang dianggab dapat memuaskan nafsunya.”
Tiba-tiba
seorang lelaki menghampiriku, aku masih menunduk melihat air mataku yang terus
berjatuhan di gumuk-gumuk pasir putih itu. lelaki itu tetap berada di
sampingku, aku memperhatikan kakinya lalu menengadah untuk melihat wajahnya.
Masih belum jelas di pandanganku. Kuusap mataku dan mengucek-ngucek 2, 3 kali.
Kuperhatikan dengan seksama lelaki itu. dia memakai baju putih yang lengannya
telah tersingsing. Memakai kopiah putih dan sedikit berjengkot tipis. Dia
menguluran tangannya hendak mengajakku berdiri. Aku kembali menunduk. Aku tak
peduli dengan ajakannya. Aku tidak butuh dengan dia. Yang aku butuhkan adalah
wanita itu.
Ia masih
berada di dekatku. Asyik memadangi wajahku yang sebenarnya tidak menyenangkan
untuk dipandang. “salamualaaiakum Alena” suaranya mengajakku untuk menoleh
padanya. kulihat wajahnya lebih dekat lagi, ternyata dia adalah temanku semasa
sekolahan. Sekarang dia sudah dewasa. Sorot matanya masih seperti dulu yang
selalu melihatku penuh perhatian. Sekarang dia seorang ustad yang beta dengan
hidupnya yang bagiku tidak mengasyikkan. Hanya tinggal dilingkungan sekolah.
Setiap hari memakai sarung dan kopiah. Mengajarkan ilmu agama kepada
orang-orang. bahkan perjumpaanku hari ini pun akan menjadi ladang pahala
buatnya karena akan memberiku cerama atas keluhanku pada dunia. Ia duduk di
sampingku dengan mengatur jarak.
“kamu
kenapa?, belum usaikah masalah-masalahmu yang dulu waktu kita sama-sama
sekolah?” dia tersenyum sambil melihatku memandangi pantai yang terhempas
deburan ombak. Sekrang posisi kami sama. Menghadap ke pantai sambil memeluk
lutut. Suara burung cemara semelantunkan melodi membawa perbincanganku
dengannya.
“Aku butuh
kasih sayang, cinta dan perhatian” seraya terus menatap deburan ombak.
“oh...
sangat klasik sekali kata-kata itu macam zaman Roma Irama saja” tertawa kecil
“sungguhh,
betapa tak mengertinya orang di sampingku ini” aku menggelengkan kepala.
“kenapa
terlalu sibuk dengan dunia. Bukankah dunia ini hanya sementara” mendengar kata-katanya, aku sedikit berujar
dalam diam emang dunia Cuma 24 jam.
“bagimu keinginanku
klasik, karena yang kau lalui tak
seperti wanita itu. Bagimu kasih sayang
itu tak penting untuk dibahas. Karena Al-qur’an cukup untuk menenangkan hati
yang gunda. Kamu kebanyakan baca buku cerama dan
mengikuti acara-acara motivator”
“jangan
bilang begitu. Nanti kamu berdosa” memotong pembicaraanku
“kenapa aku
berdosa? Ada yang salah dariku? Aku hanya mengutarakan apa yang orang lain rasakan” aku mulai
tersenyum dengan ombrolan ini, obrolan yang
tak ada jawabnya kemudian. Yakinku.
“kenapa kamu berubah? Tak yakinkah
engkau pada Allah setelah kau sekolah jauh?”
Aku berbalik
melihatnya. Kini posisiku berubah. Aku melihat wajahnya. Wajah yang kutahu
ingin menatapku juga. Tapi dari dulu dia tak berubah. Dia tidak mau saling
bertatapan denganku. Katanya dia takut ada dosa di antara kami. Ini klasik bagiku. Entahla jika bukan
aku wanita yang di dekatnya.
“aku tidak
berubah, masih seperti dulu. Masih berjalan dengan kitab yang aku yakini kebenarannya. Masih mengingat
pesan Guru kita. Sini, dekatlah sedikit” perintahku
“aku tidak
mau. Di sini saja” aku tahu dia tidak mungkin tergoda denganku
“ya sudah, aku ulang lagi
pertanyaanku: dunia ini tak semudah yang orang kaya bayangkan. Tak seindah
ulama ceramakan, tak semudah penulis menceritakan. Jika dunia muda untuk
dijalani, mengapa wanita itu pergi dan menghilang dariku. Wanita yang baik yang
berubah menjadi jahat. Wanita yang pendiam tiba-tiba menjadi kasar, wanita yang
tak pernah tersentuh, kini menjadi wanita sentuhan lelaki bejat yang tak punya
malu. Menghamburkan uang hanya untuk tidur semalam dengan wanita yang dianggab
dapat memuaskan nafsunya. Mengapa?
“kamu seakan
tak punya iman saja. menagapa bertanya tentang hal sepele seperti ini. Yang jawabannya sangat singkat?”
seperti inilah tanggapan lelaki yang
paling terkenal kepintarannya waktu aku dengannya masih duduk di bangku sekolah.
“mengapa?”
suaraku tertelan ombak yang terus menghempas karang-karang yang kuat. kuulang lagi dengan nada tinggi, “MENGAPA”? Lama
kami terdiam usai teriakanku.
“karena
wanita itu tak punya iman. Andai dia punya iman yang kuat pasti dia Bertahan dengan semua ujian yang Allah
berikan. Tak mungkin dia berubah menjadi
jahat, pemarah bahkan menjadi pemuas nafsu lelaki” memulai kembali pembicaraan.
“mudah
sekali kita melewatinya dengan kata-kata iman” ujarku sambil mengaduk- ngaduk pasir pantai yang ada
di dekatku.
“kamu ragu
dengan kalimatku barusan?”
“belum menjadi kalimat saja aku
sudah ragu. Mau tahu kenapa? Bukan karena siapa-siapa dan apa-apa. Tetapi
karena aku sendiri tak bisa menjawab pertanyaan wanita itu. wanita yang kukenal
di sini. Di daerah ini untuk pertama kalinya.
“dulu aku pernah mengatakan hal ini
kepada wanita itu, tentang iman yang kau
katakan tadi. Tapi dengan marah seakan ingin memotong batang leherku, ia
mengatakan, kamu berbicara iman karena
kau sekolah di sekolah yang mengajarkan syurga-neraka. Sedangkan aku, aku tidak
sekolah. Aku hanya tamat SD. Tak pernah tersentuh ajaran agama kita. Mau bilang
aku tidak berusaha? Aku berusaha tapi aku tidak punya uang. bisa dikatakan aku
anak jalanan. Setiap hari hanya mencari uang untuk mengisi perut. Kamu
menyuruhku menutup aurat agar lelaki tak mengincarku? Pantaskah aku memakai jilbab
sedangkan aku menjual diri?. Menyuruhku membaca al-qur’an? Pelajari hurufnya
saja tak pernah. Hidup kita berbeda. Kesalahanku ini bukan dariku tapi orang
tuaku yang tak pernah ada di dunia ini. Orang tuaku tak ada. mau salahkan siapa
ketika aku tumbuh di jalan yang tidak benar. Sedangkan aku tak tak tahu saat
itu bahwa kehidupanku hancur bila terus berada di jalan itu. sudahlah, memang
jalan kita berbeda. tumbuh tampa dijamah lelaki adalah pilihan wanita tapi bagaiman jika pilihan wanita untuk tumbuh
adalah jamahan lelaki??? Bisakah kau jawab???. Tahu tidak, lidahku keluh
mendengar semuanya. Aku tiba-tiba teringat denganmu yang tumbuh sebagai anak
seorang ulama. Ayahmu penghafal al-qur’an dan ilmunya banyak. Pantaslah kamu dikatakan
shaleh. Saudara perempuanmu dididik untuk menutup aurat dan mengaji. Tidak
boleh pacaran hingga ada lelaki yang datang kepada ayahmu. Tapi wanita itu?
masihkah kau menyalahkan dia karena keimanan?
Dan sekarang
aku masih mencari jawabannya. Aku bersalah telah menyalahkannya. Bukan itu,
bukan itu seharusnya yang kulakukan. Tetapi membantunya dengan uang. Agar bisa
mengubah diri dan mencari iman melalui pendidikan. Karena tak ada yang gratis
di dunia ini. Masihkah kau mengatakan dunia ini singkat? Jika singkat, aku mau
berpuasa saja jika uangku tak ada. tinggal menunggu mati saja kan? tapi tidak,
aku butuh uang untuk menunggu ajalku datang menjemput. Karena aku mau makan dan
hidup.
Dia tertunduk mendengar semuanya. Dia
tak menjawab. Aku berdiri,
“semoga
perjumpaan kita kali ini bermanfaat. Titip salam buat ayahmu dan anaknya
lelakinya yang sekarang sudah menjadi ustad” aku berbalik meninggalkannya.
“tunggu, katanya kamu butuh cinta, perhatian
dan kasih sayang?” menahanku meninggalkannya.
“sudahlah... hal seperti itu hanya masalah klasik kan?. Aku
membutuhkan hal itu, sebenarnya untuk kubagikan pada wanita itu. tapi tak
kutemukan padamu. Kamu hanya mengandalkan imanmu namun tak peduli dengan orang
lain. Sekarang, adalah perpisahan kita, aku sudah kehilangan wanita itu, dan
aku juga mau kamu hilang dalam hidupku. Biarkan ilmu mempertemukan kita. Dan
wanita itu biarlah jadi kenangan bagiku tiap ada di kota ini”
Aku pun
terus pergi meninggalkannya bersama butiran pasir dan binatang laut melepas yang kepergianku.
“Suatu saat ilmu itu yang mempertemukan kita. Mencari ilmu sebanyak
mungkin dengan mengetahui hakikat dari ilmu itu. iman tak segampang dan semudah
yang kita lihat. Karena iman ada di dada. Mencarinya tak mudah. Butuh dunia untuk
mengenalinya”.
Barru. Di laut yang tak pernah
kulupakan itu