Belum usai buku-buku yang kupelajari
terekam di memori, seorang teman menelponku. Ia mengajakku untuk menemaninya
makan malam. Rasa ingin menolak pasti ada, hanya saja aku tidak inginn mengecewakannya, dia
sahabatku dan aku tidak ingin menyakitinya setelah ribuan kebaikan telah ia
berikan padaku.
Aku menunggunya di tempat makan yang
ia maksud. Cukup lama aku menunggunya. 1 jam lewat 50 menit. “Ah.... ini
janjian atau ngerjain” celotehku sambil terus memperhatikan orang-orang yang
berlalu di hadapanku. Kadang ada yang menoleh sambil senyum simpul.
“sudah
lama nunggunya?” tanya Vera, yang seketika sudah duduk di depanku.
“ini
temanku, namanya Irma” tambahnya, sambil memperkenalkan teman yang duduk di
sebelahnya.
“lama
banget, sumpah bikin emosi aja” ketusku
“maaf,
tadi itu jemput temanku ini dulu” belanya sambil menepuk bahu temannya.
“oh...
begitu” responku sambil tersenyum paksa. Andai saja alasannya bukan itu,
mungkin mulutku tidak akan berhenti mengoceh.
“Tumben
ngajak makan malam?” tanyaku heran
“nantilah
kita ceritaka, pesan makanan dulu saja!”
15
menit, makan pesanan kami sudah ada di atas meja. Kami memulai makan.
Sebenarnya aku lagi tidak ingin makan, tapi karena melihat ayam balado, hasrat
makan pun memuncak.
“besok
aku akan berangkat ke jepang” kata Vera, memecah keseriusan makanku.
“apa?”
daging ayam rasanya berubah menjadi tulang, tersedak di tenggorokan. Kuraih air
putih meneguknya secepat mungkin.
Tapi kali ini, wajah Vera, tidak
seperti biasanya.
“ke
jepang? Ngapain di sana?” tanyaku
“mau
kerja”
“kerja
apa di sana?”
“apalagi
kalau bukan TKI” jawabnya dengan suara merendah
“ah...
serius? Kamu tidak takut dengan majikan-majikan di sana? Kamu sudah baca berita
tentan TKI? Ah ngeri deh” mulutku tak berhenti menghujaninya dengan pertanyaan.
“sebenarnya
aku takut, tapi mau apalagi, aku mau lanjut kuliah tapi biaya dari mana coba. Tapi ini sudah kupikirkan matang-matang kok.
Malam ini adalah malam perpisahan. Mungkin tiga tahun lagi aku pulang” matanya
berbinar
“ha?”
aku masi saja belum percaya
Kami
melanjutkan makan. Teman yang vera bawa masih saja diam. Ah... bibirku paling
gatal jika tidak mengejak orang di sekitarku berbicara.
“kalau
mbaknya, mau ke jepang juga”tanyaku
“tidak”
ia tersenyum terpaksa, terlihat saat ia menatapku sekilas lalu memperhatikan
gadjetnya.
“dia
itu lagi galau” sambung Vera lalu melirik ke arah temannya itu
“ah...
kamu ini” dia sedikit malu, padahal umurnya jauh lebih di atasku
“kenapa?
Bisa KEPO dong?” aku tertawa lepas
“gini,
aku ditusuk teman dari blakang” ia mulai bercerita namun tetap memandangi layar
ponselnya
“akhirnya
curhat juga” Vera memotong
“Vera,
aku mau dengar! Bisa diam sebentar gak?” agar ani terhibur dengan rasa
simpatiku. meski pun aku ingin tertawa lepas melihat wajah kusutnya ditambah ceritanya
yang memilukan. Klasik. Sumpah!
“temanku
ternyata menusuk dari belakang” ia
mengulanginya lagi. Emang tusuk-tusuk sate. Sepertinya suka benget tuh dengan
tusuk-tusukan. sudah dua kali ia mengucapkan kalimat ini namun hanya
mengisahkan cerita bersambung.
“terus?”
“yah
ditusuk” jawabnya.
Akhirnya
tawaku meledak. Aku tak tahan melihat kepolosannya.
“kalau
begitu dengarkan aku, Ver dan ani, jalani masalahmu masing-masing. Jalan
keluarnya pasti ketemu di ujung usaha”
“kok
tumben ngasih solusi?” tanya Vera heran berbalut ngeledek
“aku
mau cepat-cepat pulang. hahaha” kupeluk Vera bertanda kami sebentar tidak akan bertemu. Ia menangis. Kutepok
jidatnya lalu kukatakan bahwa ia terlalu lebay, jepang negera yang dekat. Tak
usahlah membuang air mata. Kukira dengan
begini akan memberi kesan bahwa perpisahan kami berakhir dengan senyuman.
Mataku tidak dapat terpejam, Rasanya aku
menumpuk beban dan kesedihan. Andai saja bisa dilukiskan, sedih itu sudah
menggunung dan panas. Sebentar lagi akan meletus dan menyakiti manusia yang ada
di sekitarnya.
Kau tau bagaimana sakitnya ketika
sahabat pergi lalu mendengar seseorang sedang ditusuk dari belang oleh
sahabatnya sendiri? Sakitnya itu di sini, sambil kutunjuk kepalaku. Bagaimana
tidak, sahabat pergi tak ada lagi yang mendengar cerita-cerita konyol dan
sedihku dan aku teringat dengan seseorang. Teman vera malam ini membawaku
mengingatnya, lelaki yang kutunggu. Lelaki yang kuanggab baik, bukan hanya
memberi bahagia dunia tapi akhirat. Begitulah Predikat yang kuberikan padanya.
Aku
***
“Cerita
klasik” memang geli untuk didengarkan, tapi ketika dirasakan, sakitnya bukan
lagi di kepala, tetapi seluruh organ tubuh.
Sebutnya
saja namanya berto, lelaki yang ingin menikahi polina alias orang yang memiliki
kisah ini. ia berjanji ingin menikahi polina jika uangnya sudah cukup banyak.
Namun di sebuah malam yang gelap ditambah sedikit gerimis, Yang seharusnya
polina tertidur nyenyak sambi memeluk guling. datanglah sebuah kabar jika berto
akan menikah 5 hari lagi.
Sepanang
hari menuju hari kelima, polina sepertinya begitu riang. Sedikit pun tak ada
kesedihan di wajahnya. Tapi taukah engkau di balik wajahnya yang riang,
ternyata lukanya sudah melebar dan membusuk. Ditambah air mata yang ia
sembunyikan. Makin lembablah luka itu.
Tibalah
hari ke-5, polina membayangkan wajah sang kekasih bersanding di pelaminan
dengan wanita yang bukan dirinya. Hari itu polina memilih makanan untuk
menemaninya. Tak tanggung-tanggung ia memilih restoran mahal dan makan sendiri.
Katanya ingin melepas bayang-bayang berto. Di saat ia mengunyah makanan,
tiba-tiba air matanya bercucuran bagai air hujan. Ia melempar makanan yang
masih ada. ia berteriak seperti orang yang kehilangan suami. Perlahan ketika ia
sadar semua orang berbalik keheranan pada dirinya, ia pun menarik nafas
dalam-dalam lalu menundukkan kepala sambil
menangis tertahan, ia ingin mengambil sebilah pisau untuk mengakhiri
hidupya. Sakit melihatnya seperti itu. oh... berto betapa tega kau menyakiti
polina. Akhirnya aku mengakhiri film
polina berto.
Setelah melihat film itu, aku merenung
lalu kembali merebahkan badan. Aku mengingat Anas, yang akan menikah esok hari.
Posisiku sekarang tidak lebih baik dari polina. Namun, tak sedikit pun aku
berniat mati konyol karena cinta.
“KetikaTuhan
mengambil yang baik, maka Tuhan menyuruhmu menjadi pribadi yag baik lagi atau
mungkin Tuhan ingin menggantinya dengan yang lebih baik. lalu ketika kau sadar, ternyata orang yang
menemaninya jauh lebih baik darimu maka Percayalah sebuah kayu tak akan menjadi
mainan jika pembuatannya tidak terstruktur dengan baik alias setiap sudutnya
harus saling berpasangan dan cocok. Begitu pun manusia, Tuhan akan memasangkan
karakter atau watak yang berbeda agar ketika bersatu, saling melengkapi. Yang
satu pendiam, maka yang satu akan menghibur dengan celotenya, ketika yang satu
suka makanan mahal, maka yang satu akan makan yang lebih murah. Soalnya takut gak bisa bayar. Hahaha...
See
next time...