Jarum jam sudah menunjuk angka 02.00 dini hari tapi mataku tak sedikitpun
ingin tertutup. Aku sedikit takut karena besok aku ujian. Aku takut jika dalam
ruangan mataku enggan membantu untuk menjawab soal-soal ujian. Kucoba merenungi
apa saja yang membuatku seperti ini. 30 menit aku memandangi sudut-sudut kamar
ini ada 1 2 3 masalah yang kudapatkan. Tapi masalah yang membuatku hingga hari ini meringis
kesakitan saat mengingatnya saat aku bertemu dengan seseorang di sebuah pusat
perbelanjaan.
saat itu aku ingin
meraih mie instan yang cukup membuat tanganku sulit meraihnya karena terlalu
tinggi bagiku. Sungguh di luar dugaan tatkala mie yang sudah ada di tanganku terlepas. Jatuh
tepat di kepala seorang lelaki berambit panjang dengna warna coklat keemasan
yang sedang mencari bahan bumbu masakan yang letaknya di bawah mie instan.
“astagfirullah... Maaf
pak” spontan menunduk dan memunguti mie yang berserakan
Ia menatapku. Wajahnya
tampak geram. Aku menunggu ia meresponku. Tapi ternyata ia tak menggubrisku
malah meninggalkanku lalu menggerutu. entah apa yang ia katakan. Tidak jelas bagiku
saat itu yang masih sangat kaget.
aku ke tempat terakhir
untuk membeli jam. Karena jam dindingku rusak beberapa hari yang lalu. Di
tempat jam itu aku bertemu lagi dengannya. Aku sedikit segan karena kejadian
tadi. Aku dan dia bersamaan menyuruh mengambilkan barang yang akan kami beli.
“duluan aja mbak!”
katanya lalu membuang pandangannya
“ga’ papa pak duluan aja” kataku menolak berharap ia sedikit tersentuh
dengan sikapku
“kenapas sih ribet banget” geramnya. Aku hanya tersenyum mencoba menyikapi
bahwa hal seperti ini tak boleh di masukkan ke dalam hati.
“itu mbak yang warna
merah” katany sembari menunjuk. Sementara, Mataku mengikuti telunjuknya. Jam
yang ia pesan bergambar salib. Yang dihiasi gambar lelaki berjenggot. agama
nasrani percayai bahwa itu adalah yesus. Aku terseyum mencoba menikmati
kejadian ini. Aku menanggup kedua tangan di depan dada mencoba menerima sikap
bapak yang baru kutemui ini. Sekarang giliranku menunjuk jam yang kuinginkan.
“yang warna putih ya
mbak” kataku pada penjaga toko itu
Saat kutunjuk jam
berwarna putih dengan gambar kaligrafi yang berlafaskan Allah ia pun melihatku.
Aku menoleh dan tersenyum. Lagi-lagi ia membuang pandangan. Tak banyak
berfikir, segera kubayar lalu meninggalkan tempat itu. beberapa menit saat kutinggal tempat
penjualan jam itu ia mengikutiku sedari tadi sambil memegang lembaran dan
sebuah pulpen.
“Hei” menyodorkan kertas
kecil lalu meninggalkanku. tak sempat bertanya apapun ia berbalik meninggalkanku.
kumasukkan kertas kecil itu ke dalam dompet untuk kubaca di rumah saja.
***
Esok harinya setelah
terbangun dari tiudr dan selesai melaksanakan shalat subuh, barula ingatanku
tyertuju pada kertas kecil pemberian bapak itu. kuraih dompetku kubuka perlahan “andai saja ayah ibumu
bukan islam, apakah kau islam? Pernakah kau berfikir bahwa agamamu sudah benar” sesingkat itulah yang tertulis di kertas.
Aku sedikit berfikir dan mencoba menghayati pertanyaan tui. Ternyata akulah
manusia yang terbodoh yang tak bisa menjawab pertanyaan semacam ini. Perasaanku
sesak ada yang ingin kusampaikan namun hatiku sendiri melarang untuk menjawab
dengan rasa. Karena Allah pun menyuruh manusia untuk berfikir,
“Katakanlah, ‘Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana
Allah swt menciptakan (manusia) dari permulaannya’.”(Qs. al-‘Ankabūt [29]: 20).
Aku merasa ibarat manusia
yang yakin pada sesorang hanya dengan mendengar cerita dari mulut ke mulut. Aku tak mencari
kebenarannya sendiri. Maka pantaslah aku dikatakan “instan” bersujud, menangis, meminta tapi tak
pernah berusaha mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk mengetahui Tuhan. Saat
itu aku menangis, menangisi kebodohanku.
Dan malam ini mataku tak
kunjung terpejam karena ada sesuatu yang tak dapat kuungkapkan meski sebuah
kalimat pendek.
2 komentar:
27 Oktober 2013 pukul 06.03
Keren
30 Oktober 2013 pukul 05.19
jawab chiinn ,,, tanya ma pak kyai ,,, mmm ngomong-ngomong ( tongeng muaga iyaro kertasaee ??) :D
Posting Komentar