Kaki
ini masih terseret oleh pikiran yang membumbung tinggi tak tentu arah. Aku
berjalan sudah lima jam namun tak kutemukan tempat untuk duduk menyandarkan
beban badan. “Biarlah, di depan sana mungkin akan ada tempat istirahat” sambil
terus berjalan. Tak begitu lama, ada tempat yang nyaman dan tak banyak orang.
tapi sepertinya tidak ada penjual makanan. Sudahlah, duduk berselonjor sedikit
harus disyukuri.
Aku
duduk di sebuah kursih panjang yang
terbuat dari besi. Kusandarkan badanku lalu memejamkan mata. “ada apa aku ini,
rasanya hatiku penuh. Masalah itu hadir sedemikian rupa membuatku tersesat”
kuhirup udara yang tidak baik untuk dihirup itu. biarlah.
“Seminggu
sudah aku merasakan hal yang aneh. Pilihan berat itu harus ku jalani. Dulu aku
merasa ini hanyalah cerita Siti NurBaya yang berlaku pada masanya. Cerita yang
berganti masa dengan tayangan yang lebih menarik. Seperti film bioskop laskar
pelangi, sang pencerah dan film lainnya yang mengangkat tentang semangat hidup
tapi ternyata ini berlaku padaku wanita yang lahir di akhir abad ke 20. Jika
membayangkan, rasanya hatiku mengundang
bau busuk untuk muntah,” Gumamku.
Kubuka
perlahan mataku, kurasakan ada yang duduk di kursi yang sama. Aku menoleh ke
kanan. Yah... ada wanita yang umurnya sebayalah denganku. Tatapannya kosong dan
garis wajah mengendor mungkin akibat Power Failure alias koslet. Ah... untuk kali ini
tidak usahlah bersimpati, masih banyak masalah yang harus kuemban juga.
Sekita 30 menit aku
duduk di kursi panjang bisu itu, namun sama sekali belum ada satupun jalan
keluar yang kutemui. Wanita itu? ternyata masih bersamaku juga. Posisinya
berubah, ia mengangkat kakinya untuk memeluk lutut dan menundukkan kepala. Dan
kendati aku berusaha pergi dari gerak-gerik wanita yang di sampingku ini,
rasanya tidak bisa. gejolak untuk menenangkannya lebih besar ketimbang
menenangkan hatiku sendiri. Kucoba
mendekatinya dengan menggeser sedikit demi sedikit badanku ke dekatnya.
“eh.. kenapa? Ada yang
bisa aku bantu?” sambil menyentuh lututnya. Ia tak merespon, malah memeluk
erat-erat kedua lututnya. Aku tidak menyerah, aku berusaha agar dia tidak
terlihat seperti memikul beban hingga aku meninggalkan tempat ini. setidaknya
aku pergi dengan melihat orang lain sedikit melupakan masalahnya. Tiba-tiba
saja ia menangis tak terkendali. Aku panik, entah apa yang harus aku lakukan,
dengan sedikit ragu kuranggul bahunya kemudia kupeluk dan menepuknya perlahan.
Hal ini kulakukan bukan karena sering melihat film romantis, namun karena tak
ada pilihan. Bayangkan jika kau ada di posisiku melihat ada seseorang yang
menangis dan terlihat memilukan, apakah hatimu yang keras itu tidak meleleh untuk
menenangkannya. Begitu pun andai ada yang merasakan betapa porak porandanya
hatiku sekarang.
“di sini ada orang loh, nanti mereka melihatmu menangis. bukan aku yang
menangis ko’ rasanya aku yang malu yah?” kucoba mengiburnya.
“aku tidak apa-apa”
singkat namun menciptakan pertanyaan-pertanyaan lagi.
Sepertinya tidak
mungkin jika aku terus-menerus di kursi bersama wanita yang menangis tanpa
alasan yang kuketahui ini. Aku juga punya masalah yang sebenarnya perlu
kutangisi. Oh.. Tuhan, biarkan aku pergi dari tempat ini. Kuatkan aku meninggalkan
wanita yang membisu ini. Kulepaskan pelukanku kemudian beridiri untuk
meninggalkannya.
“Tunggu” sambil
memegang tanganku. Aku kembali duduk seperti semula.
“iya, kenapa?”
pertanyaan yang kuharap bisa menenangkannya.
“aku mau bercerita.
Maukah kau mendengarnya?"
“aku akan
mendengarkannya, bicaralah!” kami seolah-seolah pernah bertemu sebelumnya. Kegelisahannya
seolah-olah terasa. Sorot matanya menyimpan duka membuatku tenggelam oleh rasa kasihan.
“rasaku kusimpan saja dulu, biarlah wanita ini yang bercerita” ratapku dalam
bisu
“aku harus ke mana
jika sudut dunia ini tidak pernah memberi ules kasih, rasanya sejak hari-hari
kemarin aku tidak pernah seluka ini. meski aku bukanlah wanita beruntung yang
mempunyai ibu dan ayah setidaknya semangat untuk hidupku setinggi langit. Tapi
sekarang semangat itu patah. Dunia ini terlihat seperti arang yang sedikit lagi
menjadi abu” sambil pandangannya lurus ke depan.
“ada apa?” sedikit
membawanya lebih ke dalam
“mengapa Tuhan
menghendaki kehidupan seperti ini buatku? Katanya Dia Maha adil, namun hingga
aku ada di sini, di depanmu, rasanya Tuhan hanya memberiku satu dari dari
sepuluh pemberianNya pada manusia yang lain. Ketika keyakinan pada keadilan
Tuhan telah musnah oleh fetamorgana kehidupan, apakah aku sanggub untuk
bertahan?” terlihat jelas pada wajahnya sebuah kejenuhan yang mendalam. Aku
hanya terdiam berusaha mencerna “keadialan Tuhan” yang ia keluhkan itu. Tidak
mungkin aku memberinya petuah tentang Tuhan dan menjelaskan dengan teori para
filsuf. Terlalu panjang dan mungkin saja ia tidak bisa mencernanya dengan waktu
yang singkat.
“sebenarnya ada apa
hingga keadilan Tuhan pun kamu keluhkan? Coba masuklah pada masalah yang
sebenarnya. aku akan mendengarkannya sebelum pergi dari sini”
“kamu punya ibu?”
tanyanya sambil melihat ku dari kaki hingga ujung kepala.
“iya”
“punya ayah?” ia meraih
tanganku membolak balik seperti ingin meramal.
“iya”
“kamu punya anak?”
“belum, kenapa menanyakan
anak? Wajahku seperti ibu-ibu yah? Sedikit ingin melunakkan kekakuanku oleh
pertanyaannya ini.
“tidak, aku hanya
bertanya. Siapa tahu kamu sudah punya anak” ia kembali terdiam sambil terus
menggenggan tanganku. Ia kembali menangis. Seluruh badannya berbetar menahan
isak tangis. Aku mencoba, mencoba lagi untuk bertanya.
“ada apa? Kenapa kamu
menangis seperti ini?”
Sambil gemetar ia memulai ceritanya
lagi ,
“dulu, sewaktu ayah dan
ibuku pergi, aku mengatakan Tuhan adil, karena ia masih memberiku kesempatan
untuk hidup. Setiap hari aku belajar tentang keadilan Tuhan padaku. Mulai dari
makan, rumah bahkan tentang cibiran orang padaku, Pada anak yang orang tuanya
tidak jelas. Aku berusaha bertahan, aku ingin menjadi orang yang baik. Aku
selalu mengatakan Tuhan adil, aku tidak peduli seburuk apa aku di mata
orang-orang. namun, saat aku hidup dengan pilihan yang berat, aku mulai ragu
dengan Tuhan”
“kenapa?” kucondongkan
lagi kepala ke depannya.
“aku hamil” sambil
meletakkan tanganku di perutnya.
“terus yang salah di
mana? Kamu sudah nikah?”
“aku hamil karena seorang
lelaki memaksaku melayani nafsu bejatnya. Saat aku menjual makanan di sebuah
terminal, ternyata ia memperhatikanku. Malam itu, ia memberiku jasa tumpangan.
Diam-diam ternyata ia membuntutiku
hingga masuk ke dalam kos. Ia membawa sebila pisau dan mengancamku. Sekarang
aku hamil 3 bulan dari seorang lelaki kampret itu. aku menangis bukan karena
suka atau duka, tapi aku kasian pada anak ini. kehidupannya lebih buruk dariku.
Selama ini aku berjuang untuk makan dan hidup bukan hasil dari menjual diri
tapi ternyata ujung-ujungnya sama saja, aku wanita yang hamil di luar nikah. Hamil
bukan karena mau sama mau tapi paksaan dari lelaki syetan. Aku benci, aku
marah. Ketika diperkosa, pantaskah aku masih mengatakan Tuhan memang adil?
Bisakah engkau menjawabnya?” sambil menghentakkan kakinya.
“sabar, kamu jangan seperti
ini lihat sana orang-orang berbalik melihatmu. Husst... tenang yah, nanti aku
bantu kamu mencari solusinya”
Pertemuan itu pun berakhir. Aku meminta nomor ponselnya dan berjanji
untuk bertemu dengannya esok hari.
***
Tiba-tiba badanku remuk diterjang badai Keadilan
Tuhan. semua pikiranku kembali bertumpu pada persoalan Tuhan dan lelaki. Aku
tidak bisa menjawab pertanyaan “ketika diperkosa, pantaskah aku mengatakan
Tuhan adil?” malam ini aku merasa sangat pusing. kurebahkan badan sambil
menerawang seluruh sudut kamar mencari jawaban apa yang akan kuberikan pada
wanita itu besok.
Kami janjian bertemu di
tempat yang sama. Sudah 30 menit aku menungggu, namun tidak ada sedikit pun
tanda-tanda ia akan datang. Sms yang aku kirim sejak pertama kali sampai tidak
mendapatkan balasan. Sudahlah, aku harus menunggu lagi.
Menghadap awan di atas
sana sambil menunggu, lumayan membuatku dapat melawan rasa jenuh. 4 jam menunggu, kuputuskan untuk kembali. “Mungkin besok ia
akan menemuiku” Sambil mencangklong tasku.
Seminggu sudah wanita
yang kutemu itu tidak pernah membalas smsku. Sms yang kukirim hampir 20 setiap
hari untuk menanyakan bagaimana perkembangannya. Sudahlah... mungkin ia sudah
legah menceritakan bebannya atau sekarang sudah tidak menanyakan keadilan Tuhan
lagi karena merasa lebih baik dari kemarin.
Kisah siti Nurbaya pun kembali menjadi persoalan di
benakku. Tuhan... apakah pertanyaan tentang keadilan yang dilontarkan wanita
yang kutemui itu akan menjadi pertanyaanku juga.
Selang dua minggu, aku membaca sebuah surat kabar di halte bus
tentang wanita hamil yang mati bunuh diri di jembatan gantung. Dari hasil
penelusuran, namanya Sarah. Persis nama yang kusave saat meminta nomor
wanita yang telah bertanya tentang keadilan Tuhan padaku dua minggu yang lalu.
“Mungkin kisah Siti Nur Baya sedikit lebih baik
untukku ketimbang kisah wanita yang kutemui itu. pertanyaan tentang keadilanMu, biarlah kujawab esok jika bertemu lagi dengan Sarah"