Beberapa
hari ini aku tidak mendengar cerita cinta, cerita yang selalu jadi pembahasan
orang-orang yang mengenalku. Bukan di inbox fb, sms, nelpon, rata-rata curhat
tentang cinta, tapi sekarang seakan mereka sudah kelar dengan urusan cintanya.
Yah.. tak mengapalah itu berarti tidak ada masalah lagi buatnya terutama untuk
saya sendiri “pada curhat gitu” padahal urusan cinta pada diriku pun belum ada
kelar-kelarnya. Tapi, ketika kalian butuh atau mau datang lagi tak mengapa deh,
saya terima. Yang jelas udah curhat traktir ya..!!!
Tema
dari tulisanku kali ini adalah catatan
pendek buat Bapak. tulisan ini kupersembahkan buat bapak adikku.
Sejak
ibu Menni menganggapku bagian dari keluarganya, aku merasa tidak sendiri di prantauan.
Aku memiliki ibu dan adik-adik.
Perlakuan
ibu Menni padaku tak berbeda dengan anak
kandungnya. Setiap hari jika selesai mengantar anak dan cucunya ke sekolah,
pasti ia menungguku di depan rumah untuk mengantarku ke kampus. Sungguh indah
pemberian Allah. Perbedaanku denganya hanya satu tapi sangat berbeda. yaitu aku
dengannya berbeda agama. Dari sini kurasakan indahnya perbedaan itu.
Di
atas motor yang lajunya sedikit pelan disengaja, sesekali ibu bercerita tentang
kehidupannya. Setiap kali
kata-kata kesal ia ucapkan, aku hanya meresponnya dengan “sabar bu” aku tak
tahu harus bilang apa. Lidahku seakan kaku untuk memberi respon positif padanya.
Kata
ibu, anaknya kemarin hilang. Mendengar itu, aku terkejut.
“terus
gimana bu?”
“sekarang
ada di rumah, lagi sakit”
Aku
sedikit terenyuh. meski belum dijelaskan oleh ibu penyebabnya, aku tahu pasti
suami ibu. Aku mengangguk-aguk penuh tahu.
“kemarin
adikmu melihat bapak lewat tempatnya mengikuti pramuka, trus adikmu manggil
bapak. Tapi katanya bapak ga balik-balik. Sampai-sampai adikmu kesal dan lari. Setelah
dia capek, barulah ia ke rumah bu de,” jelas ibu menyembunyikan amarahnya
“trus
ade’ pulangnya kapan?”
“jam
20.00. itu pun karena dikabari bu’ de. Ade’mu melarang untuk kasi’ tau ibu”
mencoba menyembunyikan air matanya.
“kenapa ade’ ga mau
kabari ibu”
Tiba-tiba
motor ibu berhenti. Kurasakan pundaknya bergetar. Aku turun lalu memegang tangannya. Kulihat air
matanya tumpah. Air mata yang sejak pertemuanku 10 bulan yang lalu tak pernah
kulihat. Meski kehidupannya dililit derita
“katanya
karena ibu dan bapak tidak pernah peduli dengan keadaannya” ibu menjawab
pertanyaanku yang ternyata sangat menyentuh hatinya.
“yahh
sudah bu’... nanti kita bicara sama ade’ ya” kataku menenagkan ibu.
Aku
pun melanjutkan perjalanan...
“Ketika bapak tak lagi berbalik
ketika mendengar panggilan anaknya,
apakah masih pantas dikatakan ayah?
Aku
tak habis fikir, seperti itukah hati lelaki diciptakan. Sehingga lebih banyak
melambai ketimbang membelai.
Ya
Allah...
Haruskah
anak seumur dia merasakan stres yang belum masanya?
Hingga
sekarang, banyak hal tak nyaman bagiku akibat perbuatan bapak-bapak yang tak punya
hati. Lebih memilih cinta yang mengasikkan ketimbang cinta yang bermanfaat”
Bapak???
Buat Adikku...
Buat Adikku...
0 komentar:
Posting Komentar