MENUNGGU........
“dasar penipu” teriak tanteku dari dalam rumah. Tante memaki saudaranya yang sudah tidak berdaya lagi ditambah lagi dengan sumpah serapa. aku terdiam,mulutku terkunci, sesak, sakit,marah dan sedih menyatu dalam hati. Ingin rasanya aku berdiri dan membantai semua orang-orang yang memaki malaikatku yang tidak berdaya.
“dasar penipu” teriak tanteku dari dalam rumah. Tante memaki saudaranya yang sudah tidak berdaya lagi ditambah lagi dengan sumpah serapa. aku terdiam,mulutku terkunci, sesak, sakit,marah dan sedih menyatu dalam hati. Ingin rasanya aku berdiri dan membantai semua orang-orang yang memaki malaikatku yang tidak berdaya.
bagi keluargaku terutama saudara-saudara
ibuku, ibu adalah seorang perampok. perampok kelas kakap tapi bagiku dia adalah
wanita terindah yang allah berikan.
“kamu itu memang wanita tidak
punya malu.aku sebagai sodaramu sangat malu punya seorang saudara penjahat
seperti kamu. Andai saja orang tidak melihat, maka dari kemarin kamu sudah aku
lempar di tempat sampah” teriak tanteku. Ibu hanya menangis. air mata yang
tidak pernah kulihat, kini tertumpah begitu deras dan terlihat jelas. Baju yang
tampak kusam dan dekil basah, menambah aromah aneh pada tubuhnya. Semua orang
yang melihatnya kadang mencibir dengan perkataan “ beginilah kalau semasa sehat
suka meresahkan banyak orang” telingaku
mulai panas. Api amarah membakar jiwaku
mengeringkan air mata. Aku berdiri mendekati tante yang sedari tadi memaki-maki
ibu. Sekarang aku ada di hadapan tante yang sangat aku segani dari kecil. Tapi
kali ini tidak ada sedikitpun rasa takut. Wajah yang selama ini aku takuti dan hormati
dimataku sekarang berubah menjadi monster yang jahat. Kutarik nafasku
dalam-dalam mataku mulai berkaca-kaca
dan berkata
“tante, tidak adakah rasa kasian
untuk ibuku, sekarang ibuku sakit. tolong jangan menambah rasa sakit yang dia
derita!”.
sejenak semua orang terdiam. sebuah tamparan melayak di pipiku. Tante
menaparku
“jangan bela ibumu, kalau sudah
salah ya, salah. Kembalikan uang yang ibumu curi dariku. Apa kamu bisa?”
aku terdiam. Sekujur tubuhku ngilu. aku tak berdaya. Badanku terkulai
lemas dan jatuh pas di kaki tante. Air mataku tumpah, segera kubersujud di
kakinya “kumohon sudahlah, ibuku sudah tidak kuat lagi. Apakah tante tidak
punya perasaan” kataku merintih. tanteku tidak menggubris permohonanku. Di
ayungkannya tendangan yang membuatku nyaris jatuh terpelanting kelantai. Semua
orang hanya diam meliahatku di perlakukan seperti itu. sepertinya tanteku sudah
puas memaki penjahat yang sudah menipunya beberapa tahu yang lalu. mataku
mengikuti jejak tanteku yang menghampiri ibu. “Apa lagi yang ingin dia lakukan”
kataku dalam hati sambil mengusap air mata.
“ kamu memalukan keluarga” maki wanita itu kemudian
berlalu meninggalkan ibu
***
Beberapa
hari kemudian, setelah kuobati luka-luka di mulutku akibat tamparan tanteku
tiba-tiba saja aku terkejut melihat ibu sudah berpakaian rapi.
“ibu
mau kemana?” tanyaku heran
“tidak
usah kamu tahu, ini urusan orang tua”
kata ibu membentak
“ibu
‘kan masih sakit?”
“tidak,
aku tidak sakit. jika nanti tantemu datang. tanya saja dia kalau aku pergi
mencari uang untuk membayar uang yang perna aku ambil darinya” kemudian berlalu
meninggalkanku. Aku hanya terdiam melihat ibu seperti itu.
Aku
teringat tentang ibu, ibu adalah wanita yang baik. dulu sebelum orang-orang membencinya
dia adalah sosok wanita yang shaleha. Selalu membantu oarng-orang yang membutuhkan
pertolongan. Dulu ibu adalah seorang pedagang yang sukses. Tokonya banyak dan
besar-besar namun awal kehancurannya yaitu saat toko ibu yang paling sukses
terbakar. Kemudian pindah ke tokonya yang lain namun inilah takdir Allah,
tokonya terbakar lagi. hingga di akhir tahun ke 1980 semua harta ibu habis
terbakar. Beberapa bulan ibu sakit karena kejadian itu.namun dengan adanya
suami yang setia dan shaleh dia masih dapat bertahan. Hingga kembali sehat dan
menjadi ibu rumah tangga biasa. Dan suaminya beralih profesi sebagai petani.
tidak lama
kebahagiaannnya hilang lagi, penderitaan ibu bertambah saat kehamilannya genab
sembilan bulan, suaminya sakit dan akhirnya meninggal dunia sehari sebelum ibu
melahirkan. Di sinilah puncak penderitaan ibu yang membuatnya depresi dan pergi
meninggalkan anak-anaknya. pergi entah kemana dan apa tujuannya. Semua keluarga
hanya bisa marah dan mencacinya yang tidak berfikir sedikitpun mengapa ibu
melakukan hal yang demikian.
Sudah beberapa
hari ibu tidak pulang-pulang, paman dan tante-tanteku makin marah, sehingga
pamanku yang paling tua perpikir untuk pergi mencari ibu. Sungguh diluar
dugaan, paman mendapatkan ibu tidur di pinggir jalan. Paman langsung menarik
ibu dan memasukkannya kedalam mobil. Ibu hanya diam, pandangannya tak menentu
hanya isak tangis yang menandakan dia sangat terluka. Oh...ibu sungguh malang
nasibmu. Sesampainya di rumah, ibu di lempar masuk kedalam rumah. Semua keluarga
mendekati ibu dan memakinya. “kamu ini perempuan yang punya hati atau tidak?
Mengapa tega-teganya kamu pergi meninggalkan anak-anakmu”. Bentak tanteku. Ibu
hanya diam, kemudian berlalu meninggalkan semuanya. Dia berjalan tertatih
menuju kamar. Pelan-pelan di bukanya pintu kamar dan duduk di samping
anak-anaknya yang tertidur.
pagi harinya,
setelah shalat subuh. Nenek terkejut saat melihat kamar ibu, yang di dapati
hanyalah surat yang menyatakan ibu pergi. Setelah membaca surat,nenek langsung
marah kepada semua ank-anaknya. nenek kesal dengan perlakuan mereka yang
menambah rasa sakit ibu. Nenek akhirnya pasrah melepas kepergian putri
sulungnya yang sangat ia sayangi.
Beberapa tahun
kemudian anak-anak ibu sudah besar bahkan anak pertamanya sudah menikah dengan
seorang nelayan. Kemudian anak laki-lakinya sudah bekerja. Kerja apa saja jika
ada yang memanggilnya. Hingga pada suatu hari di sinilah awal mula aku akan
hidup di dunia ini yang terlahir dari rahim wanita PENJAHAT YANG MULIA BAGIKU.
saat itu ibu sudah tinggal di rumah kontrakan dan anak-anaknya sudah pergi
mencari rezki untuk bertahan hidup. Saat itu seorang laki-laki datang kepada
ibu untuk meminangnya. Tanpa berfikir panjang, ibu menerima pinangan itu dan
hidup bersama walau orang tua dan keluarga di kampung tidak mengetahuinya.
Beberapa bulan setelah menikah, ibu hamil yang kelima kalinya. Anaknya bernama Aisyah
itulah aku. sungguh nasib sudah diatur tuhan, saat umurku baru 3 tahun ibu dan ayah
berpisah lagi karena satu masalah.ayah pergi meninggalkanku dan ibu. Kemuadian
ibu mengirimku ke kampung.
Di kampung
sungguh malang nasibku, paman dan tanteku kadang menyiksaku dan mengata-ngataiku.
Aku tidak punya siapa-siapa untuk mengadu saat rindu kepada ibu. Aku hanya
sendiri berteman piluh bersahabat luka. Selama bertahun-tahun aku hidup di
kampung tanpa seorang ibu dan ayah membuatku kuat sekuat baja jika diolok atau
dicaci oleh orang lain. Setelah tamat SD aku lanjut di SMP dan masih seperti
biasa bersama nenek di kampung.
***
Tidak lama lagi aku akan tamat SD, tapi jika melihat keuangan nenek,
tanpaknya aku akan kembali bersekolah di kampung.
Setelah penerimaan ijazah, suatu kejadian yang sangat mengejutkan. Ibu
memanggilku untuk di sekolahkan. Dengan bahagia nenek melepasku karena beliau
merasa ibu sudah berubah. Aku menerimah ajakan ibu. Sekitar seminggu aku berada
di rumah ibu dengan suaminya. Kurasakan hal yang berbeda,aku merasakan ketidak sukaan
ayah tiriku. Ah...seperti inilah kehidupan gumamku.
Suatu ketika ibu mengajakku jalan-jalan. tiba-tiba ibu membawaku untuk
singgah disuatu sekolah yang sangat berbedah dengan sekolah-sekolah yang
lainnya. Aku berjalan meyusuri lorong kecil. Terlihat di sekelilingku kamar
yang kecil dan tertulis di pintu kamar angka mulai dari kamar satu dua dan
seterusnya. Aku bertanya pada ibu
“ini sekolah apa bu”? tanyaku heran
“ini pesantren nak, disini kamu akan sekolah”
Aku hanya tersenyum mendengar pernyataan ibu, aku tidak pernah mengira
bahawa ibu akan menyokalahkanku di pondok pesantren. Jika aku perhatikan ibu
hanyalah sosok wanita yang tidak peduli masalah agama yang di benaknya hanyalah
bagaimana dia bisa bahagia. Siang itu setelah melihatkan kamar dan
mendaftarkanku, kami pulang kerumah untuk beristirahat kemudian membereskan
pakaian yang akan aku bawa kepondok.
***
Pagi yang sangat cerah,
pagi itu semua barang yang kuperkirakan akan aku pakai di pondok sudah
kumasukkan kedalam tas besar. Ibu sedang bersiap-siap di kamar dan aku sudah
sedari tadi menunggu di ruang tamu.
“mari!” kata ibu singkat
Ibu mengangkat tas besar berisi makanan dan aku mengakat tas berisi
pakaian-pakain. Setelah sampai di
pesantren aku memilih kamar yang sangat murah yang penghuninya lumayan banyak.
Ibu memilihkan ranjang yang bertingkat dan menyuruhku untuk tinggal di atas.
Selama ini tidak pernah kulihat ibu seperhatian ini. Setelah selesai
membereskan barang-barangku, ibu bilang kepadaku “kamu di sini harus sabar,
inilah hidupmu semoga kamu betah di pesantren”.mataku berkaca-kaca. Ingin
kuberkata aku sangat menyayangimu. Tapi mulutku tak dapat bergerak.
“uang ibu sudah tidak banyak jadi kamu ambil saja 20 ribu ini!” kata
ibu
Aku meraih
uang itu dan mencium tangannya. “uang ini cukup kalau ibu datang lagi besok
lusa”.kataku dalam hati. Ibu meninggalkan asrama dan menyusuri lorong kecil
hingga akhirnya hilang dari pandanganku.
***
Seminggu sudah
aku dipesantren, mengikuti semua kegiatan pesantren. Hari ini aku bingung mau
apa. uang 20 ribu pemberian ibu sudah habis padal masih banyak keperluan.
sore itu menjelang adzan magri.
aku duduk di jendela dekat ranjangku.
Menatap lurus ke jalan menunggu ibu muncul. Namun setelah adzan harapan itu
hilang karena ibu tidak muncul-muncul. Aku beranjak dan pergi kemasjid.
Setelah beberapa
hari kemudian barulah ibu datang. Ingin rasanya aku mengatakan “ibu, aku sangat rindu” namun belum sempat
aku mengutarakannya dia telah berlalu. Sampai sekarang aku tidak tahu, apa yang
membuat ibu acuh padaku. Namun jika mengingat perjuangannya menyekolahkanku di
pesantren semua hal yang membuatku bertanya terjawabkan dengan satu jawaban
“karena ibu banyak masalah”. Dan inilah terakhir kalinya ibu menjengukku di
pesantren. Keperluanku hanya dikirim lewat mobil atau ATM.
***
tahun
ketiga aku di pesantren, beberapa hari lagi acara penamatan akan dilaksanakan.
Di sekolah sudah di umumkan bahwa semua santri harus memanggil orang tuanya.
Aku berfikir dan bertanya apakah ibu akan datang, sedangkan aku sakit saja dia
tidak datang. Lagi-lagi kuhela nafas panjang dan berkata “karena ibu banyak
masalah”.
Hari
yang di nanti telah tiba, acara penamatan sungguh sangat megah. Pejabat negara
di undang untuk memeriahkan. Ada sedikit rasa sakit saat melihat teman-teman
bersama keluarganya duduk bersama. Namun kutenangkan batinku dengan berkata “karena
ibu bayak masalah”. Saat aku mengingat ibu dan menghayalkannya. Tiba-tiba saja
kau tersentak saat namaku di panggil untuk naik ke atas panggung untuk
menerimah penghargaan. Ternyata aku juara satu angkatan 2010. Mataku membelalak
keherangan. Aku naik di panggung dengan rasa bahagia bercampur sedih. Saat
juara 1,2 dan 3 siap menerimah piagam, kami di minta untuk memanggil orang tua
masing-masing. Aku hanya bisa tersenyum dan berkata “ibuku banyak masalah”
semua orang mengerti dan akupun tetap tidak ada perubahan. Diwajahku tetap
terpancar keceriaan. Setelah acara usai, segera kuhubungi ibu untuk memberi
tahunya bahwa aku juara satu agar ibu bahagia dan bangga mempunyai anak
sepertiku dan akhirnya aku dapat merasakan sentuhan tangannya yang bebarapa
tahun terkahir ini hilang. Dan dapat mengembalikann perhatiannya. Segera kuhubungi nomornya.
“hallo,
ibu aku juara satu” kataku saat telpon sudah diangkat
“ini
bukan ibu”kata seorang laki-laki kemudian mematikannya
Hatiku sakit, air mata mengambang di
kelopak mataku. Ibu, mengapa kau sangat jauh dariku. Bahkan sampai hari ini,
hari di mana anakmu sudah lulus. Aku tertunduk dan berkata “karena ibu banyak
masalah”. Segera kupulang. Di atas mobil menuju rumah nenek, aku selalu
teringat dengan ibu. Ada segumpal rindu di hatiku yang entah mengapa sangat
sakit. Ingin sekali kutatap wajahnya yang selalu teduh “karena ibu banyak
masalah”.
Sesampainya di rumah, aku terkujut
saat melihat nenek terisak di samping sebuah mayat yang tertutup kain kafan.
Aku berlari dan membuka kain kafan itu. Ternyata mayat itu adalah ibu. Kucoba
menahan tangisanku dan mencium keningnya. Ibu, pantasan kau tidak pernah ingin bercerita padaku,
ternyata semua ini karena ibu ingin pergi meninggalkanku. Selama ini ibu tidak
pernah memberiku perhatian, ternyata itu
semua karena tidak ingin melihatku sedih
jika pergi. Kemudian nenek membisikkanku
“sebenarnya 2 tahun yang lalu ibumu terkena penyakit kanker” aku
tertuduk dan terisak air mataku tumpah aku menangis sejadi-jadinya. Hari ini
ibu sudah berhasil membuatku kuat dengan ketidak peduliannya beberapa tahun
terakhir ini dan kubuktikan dengan mengikhlaskannya pergi meninggalkanku. Makasih
ibu, semoga di sana kau tenang. Dan tidak kukatakan lagi “karena ibu banyak
masalah” karena masalahmu telah usai. Meski tak banyak yang menyukai hingga
akhir hayatmu namun di hatiku kau tetap
malaikat yang selalu membuatku tersenyum kalah di rundung pilu.
***
Tiga tahun
kemudian......
malam yang amat pekat, tak ada cahaya sedikitpun.
Sebuah kampung yang sangat jauh dari
maraknya ibu kota. Di sinilah selalu kuhabiskan waktuku bersama nenek yang
setia menjagaku setelah kepergian ayah dan ibu.
Malam itu mataku enggan terpejam. Mataku bertarung dengan kegelisahan
yang membuatku kepanasan. Kesunyian malam itu membiaskan kekhawatiran dalam
hatiku. Benar-benar hari esok akan menjemput. di mana sebuah perjalanan yang
akan di mulai lagi untuk mengejar cita-cita. Kampung yang indah akan
kutinggalkan. Aku beranjak dari kasur kemudian duduk bersandar di dinding kayu
yang sudah tua dimakan usia. Ada sebuah kekahwatiran menyilinap dalam hatiku
jika pergi dari kampung. Seuntai ketakutan itu adalah apakah jika aku pergi
akan berhasil, apakah jika ada di sana cita-citaku akan tercapai, apakah aku
punya uang. Dan jika tak punya uang aku harus makan apa. Aku menunduk
memejamkan mata. Aku sadar dalam hidup ini punya dimensi yang tak terlihat
jelas di mata manusia. membakar semangat Yang akan membawa pada titik akhir
usaha. Tiba-tiba iman yang kerontang ini berkata. “ Allah tidak pernah
membiarkan hambanya sendiri”.
Pagi itu Di
diepan rumah, aku menunggu angkutan umum yang akan membawaku ke
bandara.barang-barang yang akan kubawah tersusun rapi di pinggir jalan membuat
tetangga-tetangga heran. Jika mereka berbalik, aku hanya melemparkan senyuman.
Wajah mereka penuh tanda tanya. Mungkin menganggabku akan pergi merantau
mencari uang untuk melanjutkan sekolah. Mungkin juga ada yang berfikir aku mau
berjualan. Aku menunduk. Mata-mata mereka membuatku tak tahan. Matanya sinis di
tambah lagi senyum yang di campur jeruk purut. Ah.....kutepuk dadaku. Tak lama
menuggu angkutan umum menjadi saksi kepergianku meninggalkan nenek. Kulihat
wajah nenek yang khawatir. Di akhir pesannya dia berkata “jika tak punya uang
jangan berbuat yang di larang tuhan”.
Tak terasa,
2 jam aku di pesawat. Kakiku sudah menginjak kota yokyakarta. Kota yang sejak
kecil membuatku berhayal tentang hari esok. setelah beberapa hari di jogja,
kukerahkan seluruh kemampuanku untuk belajar dan belajar. Agar dapat lolos di
universitas yang ku inginkan. Setiap malam aku terjaga di sepertiga malam.
Kemudian shalat dan belajar. Aku merasa minder. di tempat tinggalku, hanya aku
yang paling junior. Semua orang rata-rata s2 dan kaya-kaya. Mereka dari
kalangan berpendidikan. Sedang saya hanya bermodalkan keberanian semata. “Entah
apakah benar cita-citaku sebagai penulis membawa pada kesuksesan. Tapi
ah....yang jelas aku berusaha dan terus menunggu.
Suatu ketika aku duduk di sebuah
kampus tempatku mengikuti ujian SNMPTN, seorang perempuan mendekat. Dan duduk
di sebelah kananku. Lama kami diam.
“mbak nunggu
jemputan ya?” tanyanya dengan logat khas jawa
‘iya mbak”
berusaha menyembunyikan logatku
“aku itu
paling malas menuggu. Maka dari itu saya di beliin mobil”.
Aku
tersenyum, teringat lagi masa kecilku yang suka meniru cerpen yang kubuat. Hari
itupun aku berbicara selayaknya pemeran utama dalam cerpen.
“saya suka
menunggu mbak” kataku lembut sambil bermain-main dengan kedepin mata yang
pelan. Wanita itu tersentak
“apa. Suka
menunggu. Ya Allah. masih ada saja orang aneh seperti kamu”.
“ini bukan
aneh tapi sebuah cerita”
“aku mulai
penasaran. Baru kali ini saya mendengar jika menunggu itu menyenangkan” katanya
memperhatikan mulutku
“mbak.
Sedikit kujelaskan, bahwa menunggu itu adalah hal terkecil dari pengujian iman.
Menuggu itu mengajarkan kita pada pemikiran positif dan dan kesabaran. Sejak
kecil aku selalu menuggu. Ayah, ibuku yang tak perna pulang. Tapi aku tetap
menunggunya di dalam mimpi dan terakhir cerpen-cerpen yang selesai kutulis.
akan kutunggu hingga semuanya dibaca oleh orang banyak . Menunggu bagiku
sesuatu hal yang memberi banyak waktu untuk mengerjakan apa saja” kataku lembut
mengikuti kalimat sebuah cerpen yang kutulis dengan judul penantian panjang.
“mbak. Aku
baru sadar. Ternyata menuggu itu ada hal yang indah. selama ini aku benci
dengan menunggu. Oleh karena aku akan menunggu untuk kita bertemu lagi. Di lain
waktu” kata wanita itu kemudian meminta nomor ponselku lalu berlalu menuju
mobilnya. Di kursi itu aku kembali sendiri. Tak lama kemudian ojekpun datang.
Pengumuman
kelulusan SNPTN masih lama. Aku menuggun sekitar sebulan. Kuisi waktu luangku
dengan tulisan-tulisan yang rencananya akan kukirim kepenerbit. Suatu hari
kuberanikan diri berjalan sendiri di kota jogjakarta. Meski tak tahu jalan tapi
aku yakin pasti ketemu seseorang yang akan menunjuki jalan. maha besar Allah.
aku bertemu dengan seorang wanita paru baya. Dia mengajakku berkenalan. Dia
penasaran dengan kehidupanku. Tanpa banyak berfikir kuceritan semuanya. Dia
tersenyum saat aku mengatakan “ saya ke jogja hanya bermodalkan keberanian.
Jika di tanya uang maka akulah orang yang tidak sekolah”. Wanita itu tersenyum.
Dia memberi pesan padaku “jika mau uang maka menulislah terus. Jika hari ini
tulisan itu tak ada yang menengoknya maka yakinlah suatu hari nanti tulisan itu
akan di perebutkan oleh para penerbit. Hiduplah dengan tulisanmu” aku
tersentuh. Teringat lagi beberapa tulisanku yang terbit di majallah namun tak
di bayar sepeserpun. Waktupun memisahkan kami.
Awan tak
seperti biasanya. Dilangit kicauan burung tak semerdu hari kemarin. Fikirankku
melayang. dan tersangkut di sebuah nama. Wajahnya sering kali memberi cahaya
tiap jalan gelap yang kulalui. Tak tahu mengapa sore itu aku teringat pada nenek.
Apakah dia sakit. “Ah....pasti sehat” kataku menepis kekahawatiran
Malam makin
larut, dingin seakan merasuk ketulang-tulang. Kucari baju yang paling tebal
yang kubawah dari kampung. Dan melanjutkannya dengan menulis. Aku tersentak
saat hand phoneku berdering. Kubuka ternyata sms dari keluarga di kampung kalau
nenekku sudah pergi menghadap ilahi. Aliran darahku seakan terhenti. dada mulai
sesak. Seakan langit runtuh menempah badan yang lemah ini. kutarik nafas
dalam-dalam lalu kembali mengingat tuhan. “ya allah dimana aku akan mendapatkan
uang untuk melanjutkan kuliah sedang aku sudah meninggalkan kampung” kataku
menunduk. Iman kembali berbisik “semua yang hidup akan kembali. Sekarang jalani
hidupmu sendiri lalu sabarlah menunggu semuanya. Allah itu ada. dia tidak
pernah tidur”. Lalu kurebahkan badanku menanti hari esok tiba.
Tiga hari
kemudian, aku duduk di tempat fotocopy menunggu untuk menjilid beberapa tulisan
yang selesai diprint. Setelah menunggu beberapa menit, aku beranjak dari tempat
duduk. Mataku tertuju pada sebuah kertas kecil yang di pojok atas tertulis
“lomba penulisan esai dan cerpen bagi remaja DIY 2012” yang diadakan oleh bby
(balai bahasa yogyakarta).segera kubaca dan kubawa pulang kertas itu. kubaca
dengan seksama. kulihat di sudut kertas nama Y. Adhi Satiyoko. Sejenak aku
berfikir tentang nama itu. “pasti dia hebat sehebat idolaku Asma Nadia karena
sudah menjadi panitia pada lomba karangan cerpen” ada rasa mengurungkan niat
untuk mengirim cerpen. Namun setelah kufikir dulu Asma Nadia dan Y. Adhi
Satiyoko tidak seperti ini. pasti dulu
tak sekeren sekarang yang namanya sudah tertulis indah di atas kertas.
Hingga akhirnya sebuah cerpen yang berjudul BERAWAL DARI CERITA PENDEK kukirim
diperlombaan itu. dan sekarang aku menunggu dan menuggu namaku berada di
jejeran orang-orang yang mendapatkan juara. Jika memang jalannya, aku yakin
pada Allah. semua akan indah pada waktunya