sendiri

rentetan tanya pengantri penuh sesak... badan menggeliat menahan panas amarah sendiri........ inilah sahabat setia. langkah yang sendiri mengundang air mata. pintu itu terus kupandangi hingga wajahmu lenyap tak berarti....

perjalanan ini.......

Dari balik jendela kamarku, kuteringat dengan 18 tahun lalu. Di mana saat itu ayah pergi meniggalku. Meninggalkanku dalam keadaan menangis berharap dekapan orang tua menghangatkan tubuh. Setelah ibu dan ayah bercerai, sebuah hidup yang tak kunginkan merapat meremukkan badan. Di usiaku yang masih kecil, tahu apa diriku tentang kasih sayang, tahu apa tentang cinta tahu apa tentang rindu. Masih teringat saat tawaku berubah menjadi tangis saat orang-orang yang kucintai pergi. Ayah pergi karena hidup pada bayang-bayang masa lalu. Dan ibu pergi karena sakit yang berkepanjangan. Aku pun mengubah prinsip menjadi “JANGAN SALAHKAN YANG NAMPAK”. Hari-hari berlalu, umurku kini sudah 20. Menandakan 18 tahun aku hidup sendiri. Hidup dalam bayang-bayang orang-oarang yang pergi. Sakit? Bukan sakit lagi. Tapi hancur. Aku butuh mereka. dari mereka darahku bisa mengalir. Tapi, apakah harus kusalahkan mereka? “TIDAK” karena sebenarnya ini takdirku. Takdir yang harus kujalani. Di kamar kecilku ini, aku menangis, aku merontah ketika rindu pada mereka menghujam hati. Namun, kesadaran yang kudapatkan di pesantren sudah lebih dari cukup untuk menahan rasa ini. Disini, di kota pendidikan, kucari siapa diriku. Kuliah walau sebenarnya harapanku hanya satu, yaitu kakak melalui cara Allah. Di besarkan dai belaian seorang nenek. Bukan suatu keberuntungan, namun sebuah pembiasaan. Hidup penuh derita dan aku tak ingin ini berkepanjangan. Satu yang kumau “berjuang”. Suatu ketika salah satu keluarga menyuruhku berhenti sekolah dan tinggal di rumah saja membuatku marah. Inilah yang membakar hati dan fikiran, inilah awal mula kutekadkan hati untuk menimbah ilmu agar menjadi pegangan saat dunia menyiarkan kehidupan yang luar biasa yaitu pergaulan bebas. Bukan hal sulit bagiku kuliah. Karena meski kekurangan uang aku masih kuliah. Meski pun semuanya selalu di bayar terlambat. Aku masih ingat saat aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri “inilah hasil keringatku yang dapat membalasankan dendamku terhadap cercaan orang-orang semasa kecil” ujarku tatkala keberhasilan serasa di depan mata. apalagi saat prestasi dan pujian selalu kudapatkan di kampus. Sungguh membuatku ada di awang-awang. Meski hatiku kadang merintih karena semua ini tidak sesuai dengan hati nuraniku tapi, ketika mengingat semua cercaan orang, serasa nurani ini berubah menjadi logika. Aku juga masih ingat saat seorang guru ingin meminangku, hati nuraniku tersentuh, namun melihat keadaanku. Aku bertanya lagi “apakah menikah akan memperbaiki kehiudpanku” tidak. tepisku. Kutolak pinangan itu. karena aku yakin jika aku sekolah dan berprestasi siapa saja akan mau padaku. Apalagi jika teringat pernikahan tanteku yang judes itu. saya berjanji ingin menyainginya. Memperlihatkan bahwa hidupku bisa lebih baik. Maka kuputuskan untuk pergi meninggalkan kampung halaman. semangat kuliahku sungguh luar biasa. Semua orang mengenal siapa saya. Saya yang selalu di kenal kristis dan berani pada semua dosen yang tidak sependapat denganku. Aku mendapat beasiswa. Teman-teman selalu mendekatiku. Sungguh prestasi gemilang. Hari-hariku semangat karena tujuan hidup yaitu sukses mengangkat nama ibu dan namaku di hadapan orang-orang sejengkal lagi. Di pertengahan kuliah, seseorang datang menyapa. Menyentuh hatiku pelan-pelan lalu mengajakku menikah. Aku merasa ini semua mimpi. Kucoba menimbang dan berfikir tentang dia. Ternyata kudapatkan jawabannya bahwa inilah do’a yang selama ini kupanjatkan. Tapi, tak seindah yang kubayangkan. Suatu malam aku dengannya chating. berpedaan itu nampak. Aku terjepit antara cinta dan budaya. “apakah ada adat penting dalam sebuah pernikahan?”tanyanya “kalau aku tidak. Tapi…………..” aku terhenti saat mengingat ibu yang selama ini ingin kubanggakan. Setidaknya orang lain bisa melihat kalau salah satu dari anaknya bisa menikah dengn meriah. “ya tapi kan bukan hanya kita ..tapi dua keluarga yang berbeda menurut ade'ta (adat kita) yang mau memakai adat yang tujuannya hanya untuk sebuah pengakuan manusia” balasnya “ adatnya sederhana saja. Pakaian pun insya Allah yang islami kapan lagi kita bisa memberi orang rasa bahagia yang kita rasakan” bantahku lagi “LAA THO'ATA LIMAHLUUKIN FII MA'SIYATIL KHAALIQ.....ini sebuah prinsip/Ushul.” Katanya menguatkan argumen. Sedikit kekawatiran mulai menyerang. Antara membahagiakan orang tua dan cinta. Semua yang dia sampaikan membuatku ingin menangis. Meski dia dari keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat sepertiku. Tapi, dia sudah berhasil pergi dari dari dunia semajam itu. Dia lelaki yang menjaga tiap tingkah lakunya sesuai al-qur’an dan hadit’s. jauh berbeda denganku yang mandang islam dalam bentuk harfianya saja. Dia selalu mengajarku tentang bagaimana memandang hidup itu. seiring waktu yang berjalan, aku mulai merasa sebuah cinta datang dengan niat yang baik. mengapa aku harus melewatkan semuanya. Ta’aruf itu kami mulai meski tak ada yang tahu. Memulai taaruf dengan sederhana saja. Saling mengenal sifat. Kami pun hanyut oleh keinginan menikah. Tapi ada yang ganjil bagiku. Yaitu akankah aku menikah dengan seorang lelaki yang betul-betul menjaga keislamannya yaitu sudah tak ikut pada adat dan kebiasaan orang-orang di keluargaku. Sungguh pilihan yang rumit. Memilih keluarga ataukah sebuah jalan bertaubat dan mendekat pada rabby. Melewati garis hidup yang likuh, membuatku bertanya sampai mana niat dan dendam ini akan kubawa sedang seorang lelaki telah datang padaku. Apakah menolak hanya karena dunia semata. Sungguh tak pantas aku menjadi hamba Allah. Setelah shalat ashar di kamar kecil. Kuraih Alquranku kemudian membacanya. aku mengakhiri bacaan karena syam menelfonku. Lama kami berbicara. Membahas masalah kelanjutan hubungan. Ketika dia bertanya lagi “maukah kau menerimahku sebagai suami” dengan nada yang serius. Tiba-tiba mulutku kaku untuk menjawabnya. Bibirku hanya gemetar. Rasa haru menyerangku. Aku merasa hidupku akan bahagia. Dan beban kakak yang membiayai pendidikanku bisa berakhir. Dan aku tak sendiri lagi menjalani hidup. Saat air mataku tak henti-hentinya jatuh, wajah ibu datang di butiran ait mata. terlihat jelas dia butuh aku. Butuh pengorbananku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku berharap tak ada sebuah luka saat kukatakan pada ibu kalau aku ingin menikah. Tak begitu lama aku berfikir, kuputuskan untuk menerimahnya. Kami saling mengenal satu sama lain. Seperti ta’aruf lainnya, kami membahas apa yang pelu kami bahas. Setelah cukup mengenalnya aku sadar. Hidupku ini masih terbilang cinta dunia. Aku terharu saat dia dan menegur pakaianku dan menyuruhku mengenakanjilbab panjang. Aku menangis. Bukan karena tegurannya, tapi aku teringat dengan ibu yang selalu menagatakan padaku “nak, pakain itu tak penting. yang jelas ada yang bisa kamu pakai, pakai saja. Karena uang kuliahmu lebih penting dari pada baju”. Sebenarnya sudah dari dulu ingin kukedahkan jilbab panjang. Namun, karena uangku hanya cukup membayar uang kuliah, maka kuputuskan memakai apa yang ada Selama masih dalam batas kewajaran. Kukatakan padanya yang sejujurnya. Bahwa tak akan kuminta uang pada ibu hanya sebuah pakaian. Aku yakin, suatu hari nanti aku bisa memakai jilbab panjang itu dengan hasil keingatku sendiri. Ibuku sudah menderita tak usah kubebani lagi. Mendengar alasanku dia berkata “hidupmu menderita”. Mendengar itu, tangisku meledak. Aku takut Allah. Jangan sampai hanya karena penderitaan dunia aku harus durhaka. *** Dengan menata kembali hati ini, kami pun menikah. Pernikahanku 100% berbeda dari yang kubayangkan. Dulu aku berharap dapat di saksikan oleh riban pasang mata tapi ternyata yang ada hanyalah syarat wajib nikah. Aku menunduk “Ya Allah inikah betuk cintamu padaku”. Disaksikan oleh kakak aku mengucup tangan suamiku. Aku menangis. Menagis karena Amanah Allah sudah di depan mata. dan aku tak sendiri lagi. Setelah menikah, ternyata keluargaku tak begitu dekat lagi denganku. Dengan alasan tak menghargai mereka sebagai keluarga. Menikah tanpa memakai adat mereka. Aku tak dapat mengelak. Aku teringat dengan pesan suamiku “meski orang tidak menyukai kita, tapi yang dijalani adalah perintah Allah dan Rasulullah kenapa kita harus takut”. Sungguh, aku sakit saat keluarga seakan tak menganggabku keluarga lagi. “ini hanya dunia” tenangku. Menjalani hidup jauh dari keluarga, setiap hari kuliah dan melayani suami membuatku makin sadar Allah mencintaiku. Memberiku suami yang subehanallah dalam mempertahankan aqidahnya. Setiap ada di samping suamiku. Kurasakan dia bukan hanya sekedar suami, tapi juga ayah. Sungguh benar janji Allah, aku bahagia bersamanya meski kadang ada sebuah perbedaan tapi, inilah yang membuatku makin cinta padanya. Dia selalu bisa membuatku sadar setiap masalah yang ada. Satu kata yang bisa kukatakan “AKU BAHAGIA”. Memilih dia sebagai suami. Suatu malam, dikamar kecil di rumah kami. Aku mendektinya dan berkata “aku mencintaimu”. Dia tersenyum. Kupegang tangannya lalu kukatakan lagi “jangan pernah meniggalkanku”. Dia hanya tersenyum. Saat kuisyaratkan keinginanku, dia tersenyum lagi lalu berkata “kita shalat sunnah dulu”. Kami shalat berjama’ah berharap Allah memberi berkah setiap apa yang kami lakukan. “Sungguh Allah mencintaiku. Mempertemukanku dengannya dan mengubah semua kehidupanku yang keliru tanpa kudari sedikit pun” ^-^Goresan cinta untuk lelaki pilihan Allah…..^-^

Si Om (...ng) Genit

Menjelang lebaran, hari-hariku sepih sekali. Sepih itu seperti mencekik leherku. Aku kira kesepian ini hanya sebentar, tapi ternyata berlanjut setelah lebaran. Setiap berjalan kemesjid, yang biasanya mereka selalu menungguku di lorong atau di mesjid. Tapi sampai sekarangt lorong itu masih hening tanpa suara mereka. Setiap malam sebelum kurebahkan badanku di kasur yang seprainya tak mau diatur karena kasurnya yang kempes ditengah Mungkin karena sudah lansia(lanjut usia) dan harganya murah meriah, mata ini tak pernah lupa untuk berbalik di kelender yang bergambar lambang tempatku kuliah. “ah….masih lama” lemasku. Hari ini serasa tak bergairah, semuanya serba terlambat. Bangun terlambat. Makan terlambat, apalagi yang namanya mandi sudah bisa saya dijuluki ralatman (ratu telat mandi). Setelah lebaran kemarin,seperti biasa kujalani kegiatanku tanpa mereka. Mereka yang selalu membuatku tersenyum meski spontan. Setelah shalat ashar, kuajak hatiku untuk bersepeda di sekitar UGM biar terhibur. Setelah cukup mengeluarkan keringat, aku segera pulang. Tapi tak lupa singgah di super market membeli obat sebelum tidur karena aku tidak bisa tidur tanpa memakan cemilan. Belum sampai diasrama, adzan memanggil. Eh…ternyata dijalanan ada fotografer yang mengambil gambar orang yang lewat. Segera kuroda sepedaku agar tidak tertangkap cameranya tapi ternyata perkiraanku meleset. Aku difotonya. Tapi untung aku berpakain rapi. Coba kalau tidak. Bisa jadi gambar monyet tu dicamera. Pulang dari mesjid, kudengar ada yang memangilku “ust…ust…” aku berbalik. Ternyata salah satu dari mereka. Segera kuberhenti sepedaku, kuelus kepalanya bertanda aku rindu. Kusuruh dia duduk di jok belakang…lalu kutancap gas (hehehehe emangnya pake kendaraan apa???). saat sepeda mulai berlaju stabil dan angin pun menyapa, dia mulai bertanya “ust orang mana sih…kok wajahnya aneh” katanya polos. “saya orang sulawesi. Kenapa wajah ust…aneh…?” tanya sambil menghentikan sepeda dan sedikit menoleh “karena wajahnya di kerumini semut. Manis kaya gula aren buatan nenekku” tawanya meledak. Aku pun tersenyum seraya berujar dalam hati “anak kecil selalu membuat hidupku berwarna” “ust kasih dong nomornya!” “usia kamu berapa nanya-nanya nomor” “ 8 tahun. ih…..ustad…sayakan nanya nomor rumahnya” hehehehhe..tawanya mengglitik “untuk apa?” “itu…tu..kakek aku yang ompong minta” Kami pun menikmati perjalanan…yang kuningnya lampu jalan menambah suasana bahagia . Terimah kasih atas rezkimu ya Allah…hari ini aku dihibur sama si ompng…menjelang hari kuliah dan hari masuk sekolah, meraka sudah datang. Sungguh aku rindu….

DI gang kecil itu.......

Saat berjalan melewati gang kecil dekat asramaku. Berjumpa dengan seorang gadis yang selalu memanggilku “mbak..mbak…” dan saat kepalaku tak mau menoleh, dia mengeraskan suaranya “mbak..mbak..e…” wajahnya kadang buatku kesal kadang pulang kasian. Bagaimana tidak kesal, tiap kali maumasuk asrama dia selalu mengejutkanku. Aku masih ingat saat sepeda yang kukendarai menabrak pagar hingga nyaris tanganku berdarah. Semua itu karena dia tiba-tiba muncul dihadapanku seraya berkata “mbak..mbak..hehehehe” dan pergi begitu saja. Rasa kasian ketika jiwaku kembali berkata “dia sangat baik dengan akal yang tak waras” aku juga ingat setiap kali memasuki gang kecil itu seekor anjing selalu berdiri bak harimau menunggu mangsanya. Aku tak bisa berbohong, aku sangat takut. Aku lebih memilih menuggu dari pada harus lewat didekatnya. Ahaaa..ini dia yang menjadi pertanyaan kenapa setiap anjing ada, gadis itu selalu muncul bak pahlawan kemalaman. Mengusirnya lalu berkata “wes mbak..wes…njingnya”. dan anjingnya pun nurut dengan wanita itu. Ha…..aku berkata “makasi” dia membalasnya denga -_’...(MENYERAMKAN). Dalam setiap kelukesah yang kurasakan, sungguh tak pantas untuk mengatakan “kenapa” karena makin kukeluhkan semuanya makin banyak kekufuran yang kulakukan. Dari sini aku belajar membaca, menulis dan menyampaikannya bahwa apa yang Allah berikan, itulah yang sebenarnya keindahan. Dia saja wanita polos yang hidupnya jauh dari keindahan. tidurnya bersama penderitaan, makannya tak ada rasa, hanya mengunyah kemudian dikeluarkan masih selalu ceria dan tak pernah bertanya “kenapa”. Aku juga sadar, dia mengalahkanku dalam hal ketenaran. Dia sangat terkenal. saking terkenalnya, setiap orang yang menanyakan alamatku pasti ujung-ujungnya bertanya “ yang dekat rumah MARNI itu yah?”. Mmmmm kalah deh,,,,,,sama kalian. Tapi hal yang palin dia benci adalah “mandi” tiap kali ini kata ini kusebutkan dia seperti ingin menggigitku. Hehehehehe tambah takut jadinya..

              MENUNGGU........


  “dasar penipu” teriak tanteku   dari dalam rumah. Tante memaki saudaranya yang sudah tidak berdaya lagi ditambah lagi dengan sumpah serapa. aku terdiam,mulutku terkunci, sesak, sakit,marah dan sedih menyatu dalam hati. Ingin rasanya aku berdiri dan membantai semua orang-orang yang memaki malaikatku yang tidak berdaya.
 bagi keluargaku terutama saudara-saudara ibuku, ibu adalah seorang perampok. perampok kelas kakap tapi bagiku dia adalah wanita terindah yang allah berikan.
                “kamu itu memang wanita tidak punya malu.aku sebagai sodaramu sangat malu punya seorang saudara penjahat seperti kamu. Andai saja orang tidak melihat, maka dari kemarin kamu sudah aku lempar di tempat sampah” teriak tanteku. Ibu hanya menangis. air mata yang tidak pernah kulihat, kini tertumpah begitu deras dan terlihat jelas. Baju yang tampak kusam dan dekil basah, menambah aromah aneh pada tubuhnya. Semua orang yang melihatnya kadang mencibir dengan perkataan “ beginilah kalau semasa sehat suka meresahkan banyak orang”  telingaku mulai panas.  Api amarah membakar jiwaku mengeringkan air mata. Aku berdiri mendekati tante yang sedari tadi memaki-maki ibu. Sekarang aku ada di hadapan tante yang sangat aku segani dari kecil. Tapi kali ini tidak ada sedikitpun rasa takut. Wajah yang selama ini aku takuti dan hormati dimataku sekarang berubah menjadi monster yang jahat. Kutarik nafasku dalam-dalam  mataku mulai berkaca-kaca dan berkata
 “tante, tidak adakah rasa kasian untuk ibuku, sekarang ibuku sakit. tolong jangan menambah rasa sakit yang dia derita!”.
sejenak semua orang terdiam. sebuah tamparan melayak di pipiku. Tante menaparku
 “jangan bela ibumu, kalau sudah salah ya, salah. Kembalikan uang yang ibumu curi dariku. Apa kamu bisa?”  
aku terdiam. Sekujur tubuhku ngilu. aku tak berdaya. Badanku terkulai lemas dan jatuh pas di kaki tante. Air mataku tumpah, segera kubersujud di kakinya “kumohon sudahlah, ibuku sudah tidak kuat lagi. Apakah tante tidak punya perasaan” kataku merintih. tanteku tidak menggubris permohonanku. Di ayungkannya tendangan yang membuatku nyaris jatuh terpelanting kelantai. Semua orang hanya diam meliahatku di perlakukan seperti itu. sepertinya tanteku sudah puas memaki penjahat yang sudah menipunya beberapa tahu yang lalu. mataku mengikuti jejak tanteku yang menghampiri ibu. “Apa lagi yang ingin dia lakukan” kataku dalam hati sambil mengusap air mata.
 “ kamu memalukan keluarga” maki wanita itu kemudian berlalu meninggalkan ibu
***
                Beberapa hari kemudian, setelah kuobati luka-luka di mulutku akibat tamparan tanteku tiba-tiba saja aku terkejut melihat ibu sudah berpakaian rapi.
                “ibu mau kemana?” tanyaku heran
                “tidak usah kamu tahu, ini urusan orang tua”  kata ibu membentak
                “ibu ‘kan masih sakit?”
                “tidak, aku tidak sakit. jika nanti tantemu datang. tanya saja dia kalau aku pergi mencari uang untuk membayar uang yang perna aku ambil darinya” kemudian berlalu meninggalkanku. Aku hanya terdiam melihat ibu seperti itu.
                Aku teringat tentang ibu, ibu adalah wanita yang baik. dulu sebelum orang-orang membencinya dia adalah sosok wanita yang shaleha. Selalu membantu oarng-orang yang membutuhkan pertolongan. Dulu ibu adalah seorang pedagang yang sukses. Tokonya banyak dan besar-besar namun awal kehancurannya yaitu saat toko ibu yang paling sukses terbakar. Kemudian pindah ke tokonya yang lain namun inilah takdir Allah, tokonya terbakar lagi. hingga di akhir tahun ke 1980 semua harta ibu habis terbakar. Beberapa bulan ibu sakit karena kejadian itu.namun dengan adanya suami yang setia dan shaleh dia masih dapat bertahan. Hingga kembali sehat dan menjadi ibu rumah tangga biasa. Dan suaminya beralih profesi sebagai petani.
tidak lama kebahagiaannnya hilang lagi, penderitaan ibu bertambah saat kehamilannya genab sembilan bulan, suaminya sakit dan akhirnya meninggal dunia sehari sebelum ibu melahirkan. Di sinilah puncak penderitaan ibu yang membuatnya depresi dan pergi meninggalkan anak-anaknya. pergi entah kemana dan apa tujuannya. Semua keluarga hanya bisa marah dan mencacinya yang tidak berfikir sedikitpun mengapa ibu melakukan hal yang demikian.
Sudah beberapa hari ibu tidak pulang-pulang, paman dan tante-tanteku makin marah, sehingga pamanku yang paling tua perpikir untuk pergi mencari ibu. Sungguh diluar dugaan, paman mendapatkan ibu tidur di pinggir jalan. Paman langsung menarik ibu dan memasukkannya kedalam mobil. Ibu hanya diam, pandangannya tak menentu hanya isak tangis yang menandakan dia sangat terluka. Oh...ibu sungguh malang nasibmu. Sesampainya di rumah, ibu di lempar masuk kedalam rumah. Semua keluarga mendekati ibu dan memakinya. “kamu ini perempuan yang punya hati atau tidak? Mengapa tega-teganya kamu pergi meninggalkan anak-anakmu”. Bentak tanteku. Ibu hanya diam, kemudian berlalu meninggalkan semuanya. Dia berjalan tertatih menuju kamar. Pelan-pelan di bukanya pintu kamar dan duduk di samping anak-anaknya yang tertidur.
pagi harinya, setelah shalat subuh. Nenek terkejut saat melihat kamar ibu, yang di dapati hanyalah surat yang menyatakan ibu pergi. Setelah membaca surat,nenek langsung marah kepada semua ank-anaknya. nenek kesal dengan perlakuan mereka yang menambah rasa sakit ibu. Nenek akhirnya pasrah melepas kepergian putri sulungnya yang sangat ia sayangi.
Beberapa tahun kemudian anak-anak ibu sudah besar bahkan anak pertamanya sudah menikah dengan seorang nelayan. Kemudian anak laki-lakinya sudah bekerja. Kerja apa saja jika ada yang memanggilnya. Hingga pada suatu hari di sinilah awal mula aku akan hidup di dunia ini yang terlahir dari rahim wanita PENJAHAT YANG MULIA BAGIKU. saat itu ibu sudah tinggal di rumah kontrakan dan anak-anaknya sudah pergi mencari rezki untuk bertahan hidup. Saat itu seorang laki-laki datang kepada ibu untuk meminangnya. Tanpa berfikir panjang, ibu menerima pinangan itu dan hidup bersama walau orang tua dan keluarga di kampung tidak mengetahuinya. Beberapa bulan setelah menikah, ibu hamil yang kelima kalinya. Anaknya bernama Aisyah itulah aku. sungguh nasib sudah diatur  tuhan, saat umurku baru 3 tahun ibu dan ayah berpisah lagi karena satu masalah.ayah pergi meninggalkanku dan ibu. Kemuadian ibu mengirimku ke kampung.
Di kampung sungguh malang nasibku, paman dan tanteku kadang menyiksaku dan mengata-ngataiku. Aku tidak punya siapa-siapa untuk mengadu saat rindu kepada ibu. Aku hanya sendiri berteman piluh bersahabat luka. Selama bertahun-tahun aku hidup di kampung tanpa seorang ibu dan ayah membuatku kuat sekuat baja jika diolok atau dicaci oleh orang lain. Setelah tamat SD aku lanjut di SMP dan masih seperti biasa bersama nenek di kampung.
***
Tidak lama lagi aku akan tamat SD, tapi jika melihat keuangan nenek, tanpaknya aku akan kembali bersekolah di kampung.
Setelah penerimaan ijazah, suatu kejadian yang sangat mengejutkan. Ibu memanggilku untuk di sekolahkan. Dengan bahagia nenek melepasku karena beliau merasa ibu sudah berubah. Aku menerimah ajakan ibu. Sekitar seminggu aku berada di rumah ibu dengan suaminya. Kurasakan hal yang berbeda,aku merasakan ketidak sukaan ayah tiriku. Ah...seperti inilah kehidupan gumamku.
Suatu ketika ibu mengajakku jalan-jalan. tiba-tiba ibu membawaku untuk singgah disuatu sekolah yang sangat berbedah dengan sekolah-sekolah yang lainnya. Aku berjalan meyusuri lorong kecil. Terlihat di sekelilingku kamar yang kecil dan tertulis di pintu kamar angka mulai dari kamar satu dua dan seterusnya. Aku bertanya pada ibu
“ini sekolah apa bu”? tanyaku heran
“ini pesantren nak, disini kamu akan sekolah”
Aku hanya tersenyum mendengar pernyataan ibu, aku tidak pernah mengira bahawa ibu akan menyokalahkanku di pondok pesantren. Jika aku perhatikan ibu hanyalah sosok wanita yang tidak peduli masalah agama yang di benaknya hanyalah bagaimana dia bisa bahagia. Siang itu setelah melihatkan kamar dan mendaftarkanku, kami pulang kerumah untuk beristirahat kemudian membereskan pakaian yang akan aku bawa kepondok.
***
Pagi yang sangat cerah,
pagi itu semua barang yang kuperkirakan akan aku pakai di pondok sudah kumasukkan kedalam tas besar. Ibu sedang bersiap-siap di kamar dan aku sudah sedari tadi menunggu di ruang tamu.
“mari!” kata ibu singkat
Ibu mengangkat tas besar berisi makanan dan aku mengakat tas berisi pakaian-pakain.  Setelah sampai di pesantren aku memilih kamar yang sangat murah yang penghuninya lumayan banyak. Ibu memilihkan ranjang yang bertingkat dan menyuruhku untuk tinggal di atas. Selama ini tidak pernah kulihat ibu seperhatian ini. Setelah selesai membereskan barang-barangku, ibu bilang kepadaku “kamu di sini harus sabar, inilah hidupmu semoga kamu betah di pesantren”.mataku berkaca-kaca. Ingin kuberkata aku sangat menyayangimu. Tapi mulutku tak dapat bergerak.
“uang ibu sudah tidak banyak jadi kamu ambil saja 20 ribu ini!” kata ibu
Aku meraih uang itu dan mencium tangannya. “uang ini cukup kalau ibu datang lagi besok lusa”.kataku dalam hati. Ibu meninggalkan asrama dan menyusuri lorong kecil hingga akhirnya hilang dari pandanganku.
***
Seminggu sudah aku dipesantren, mengikuti semua kegiatan pesantren. Hari ini aku bingung mau apa. uang 20 ribu pemberian ibu sudah habis padal masih banyak keperluan.
sore itu menjelang adzan magri.
aku duduk di jendela dekat ranjangku. Menatap lurus ke jalan menunggu ibu muncul. Namun setelah adzan harapan itu hilang karena ibu tidak muncul-muncul. Aku beranjak dan pergi kemasjid.
Setelah beberapa hari kemudian barulah ibu datang. Ingin rasanya aku mengatakan  “ibu, aku sangat rindu” namun belum sempat aku mengutarakannya dia telah berlalu. Sampai sekarang aku tidak tahu, apa yang membuat ibu acuh padaku. Namun jika mengingat perjuangannya menyekolahkanku di pesantren semua hal yang membuatku bertanya terjawabkan dengan satu jawaban “karena ibu banyak masalah”. Dan inilah terakhir kalinya ibu menjengukku di pesantren. Keperluanku hanya dikirim lewat mobil atau ATM.
***
          tahun ketiga aku di pesantren, beberapa hari lagi acara penamatan akan dilaksanakan. Di sekolah sudah di umumkan bahwa semua santri harus memanggil orang tuanya. Aku berfikir dan bertanya apakah ibu akan datang, sedangkan aku sakit saja dia tidak datang. Lagi-lagi kuhela nafas panjang dan berkata “karena ibu banyak masalah”.
          Hari yang di nanti telah tiba, acara penamatan sungguh sangat megah. Pejabat negara di undang untuk memeriahkan. Ada sedikit rasa sakit saat melihat teman-teman bersama keluarganya duduk bersama. Namun kutenangkan batinku dengan berkata “karena ibu bayak masalah”. Saat aku mengingat ibu dan menghayalkannya. Tiba-tiba saja kau tersentak saat namaku di panggil untuk naik ke atas panggung untuk menerimah penghargaan. Ternyata aku juara satu angkatan 2010. Mataku membelalak keherangan. Aku naik di panggung dengan rasa bahagia bercampur sedih. Saat juara 1,2 dan 3 siap menerimah piagam, kami di minta untuk memanggil orang tua masing-masing. Aku hanya bisa tersenyum dan berkata “ibuku banyak masalah” semua orang mengerti dan akupun tetap tidak ada perubahan. Diwajahku tetap terpancar keceriaan. Setelah acara usai, segera kuhubungi ibu untuk memberi tahunya bahwa aku juara satu agar ibu bahagia dan bangga mempunyai anak sepertiku dan akhirnya aku dapat merasakan sentuhan tangannya yang bebarapa tahun terkahir ini hilang. Dan dapat mengembalikann perhatiannya.  Segera kuhubungi nomornya.
          “hallo, ibu aku juara satu” kataku saat telpon sudah diangkat
          “ini bukan ibu”kata seorang laki-laki kemudian mematikannya
          Hatiku sakit, air mata mengambang di kelopak mataku. Ibu, mengapa kau sangat jauh dariku. Bahkan sampai hari ini, hari di mana anakmu sudah lulus. Aku tertunduk dan berkata “karena ibu banyak masalah”. Segera kupulang. Di atas mobil menuju rumah nenek, aku selalu teringat dengan ibu. Ada segumpal rindu di hatiku yang entah mengapa sangat sakit. Ingin sekali kutatap wajahnya yang selalu teduh “karena ibu banyak masalah”.
          Sesampainya di rumah, aku terkujut saat melihat nenek terisak di samping sebuah mayat yang tertutup kain kafan. Aku berlari dan membuka kain kafan itu. Ternyata mayat itu adalah ibu. Kucoba menahan tangisanku dan mencium keningnya. Ibu, pantasan  kau tidak pernah ingin bercerita padaku, ternyata semua ini karena ibu ingin pergi meninggalkanku. Selama ini ibu tidak pernah memberiku perhatian,  ternyata itu semua karena  tidak ingin melihatku sedih jika pergi. Kemudian nenek membisikkanku  “sebenarnya 2 tahun yang lalu ibumu terkena penyakit kanker” aku tertuduk dan terisak air mataku tumpah aku menangis sejadi-jadinya. Hari ini ibu sudah berhasil membuatku kuat dengan ketidak peduliannya beberapa tahun terakhir ini dan kubuktikan dengan mengikhlaskannya pergi meninggalkanku. Makasih ibu, semoga di sana kau tenang. Dan tidak kukatakan lagi “karena ibu banyak masalah” karena masalahmu telah usai. Meski tak banyak yang menyukai hingga akhir hayatmu  namun di hatiku kau tetap malaikat yang selalu membuatku tersenyum kalah di rundung pilu.
***
Tiga tahun kemudian......
       malam  yang amat pekat, tak ada cahaya sedikitpun. Sebuah kampung yang  sangat jauh dari maraknya ibu kota. Di sinilah selalu kuhabiskan waktuku bersama nenek yang setia menjagaku setelah kepergian ayah dan ibu.  Malam itu mataku enggan terpejam. Mataku bertarung dengan kegelisahan yang membuatku kepanasan. Kesunyian malam itu membiaskan kekhawatiran dalam hatiku. Benar-benar hari esok akan menjemput. di mana sebuah perjalanan yang akan di mulai lagi untuk mengejar cita-cita. Kampung yang indah akan kutinggalkan. Aku beranjak dari kasur kemudian duduk bersandar di dinding kayu yang sudah tua dimakan usia. Ada sebuah kekahwatiran menyilinap dalam hatiku jika pergi dari kampung. Seuntai ketakutan itu adalah apakah jika aku pergi akan berhasil, apakah jika ada di sana cita-citaku akan tercapai, apakah aku punya uang. Dan jika tak punya uang aku harus makan apa. Aku menunduk memejamkan mata. Aku sadar dalam hidup ini punya dimensi yang tak terlihat jelas di mata manusia. membakar semangat Yang akan membawa pada titik akhir usaha. Tiba-tiba iman yang kerontang ini berkata. “ Allah tidak pernah membiarkan hambanya sendiri”.
            Pagi itu Di diepan rumah, aku menunggu angkutan umum yang akan membawaku ke bandara.barang-barang yang akan kubawah tersusun rapi di pinggir jalan membuat tetangga-tetangga heran. Jika mereka berbalik, aku hanya melemparkan senyuman. Wajah mereka penuh tanda tanya. Mungkin menganggabku akan pergi merantau mencari uang untuk melanjutkan sekolah. Mungkin juga ada yang berfikir aku mau berjualan. Aku menunduk. Mata-mata mereka membuatku tak tahan. Matanya sinis di tambah lagi senyum yang di campur jeruk purut. Ah.....kutepuk dadaku. Tak lama menuggu angkutan umum menjadi saksi kepergianku meninggalkan nenek. Kulihat wajah nenek yang khawatir. Di akhir pesannya dia berkata “jika tak punya uang jangan berbuat yang di larang tuhan”.
            Tak terasa, 2 jam aku di pesawat. Kakiku sudah menginjak kota yokyakarta. Kota yang sejak kecil membuatku berhayal tentang hari esok. setelah beberapa hari di jogja, kukerahkan seluruh kemampuanku untuk belajar dan belajar. Agar dapat lolos di universitas yang ku inginkan. Setiap malam aku terjaga di sepertiga malam. Kemudian shalat dan belajar. Aku merasa minder. di tempat tinggalku, hanya aku yang paling junior. Semua orang rata-rata s2 dan kaya-kaya. Mereka dari kalangan berpendidikan. Sedang saya hanya bermodalkan keberanian semata. “Entah apakah benar cita-citaku sebagai penulis membawa pada kesuksesan. Tapi ah....yang jelas aku berusaha dan terus menunggu.
Suatu ketika aku duduk di sebuah kampus tempatku mengikuti ujian SNMPTN, seorang perempuan mendekat. Dan duduk di sebelah kananku. Lama kami diam.
            “mbak nunggu jemputan ya?” tanyanya dengan logat khas jawa
            ‘iya mbak” berusaha menyembunyikan logatku
            “aku itu paling malas menuggu. Maka dari itu saya di beliin mobil”.
            Aku tersenyum, teringat lagi masa kecilku yang suka meniru cerpen yang kubuat. Hari itupun aku berbicara selayaknya pemeran utama dalam cerpen.  
            “saya suka menunggu mbak” kataku lembut sambil bermain-main dengan kedepin mata yang pelan. Wanita itu tersentak
            “apa. Suka menunggu. Ya Allah. masih ada saja orang aneh seperti kamu”.
            “ini bukan aneh tapi sebuah cerita”
            “aku mulai penasaran. Baru kali ini saya mendengar jika menunggu itu menyenangkan” katanya memperhatikan mulutku
            “mbak. Sedikit kujelaskan, bahwa menunggu itu adalah hal terkecil dari pengujian iman. Menuggu itu mengajarkan kita pada pemikiran positif dan dan kesabaran. Sejak kecil aku selalu menuggu. Ayah, ibuku yang tak perna pulang. Tapi aku tetap menunggunya di dalam mimpi dan terakhir cerpen-cerpen yang selesai kutulis. akan kutunggu hingga semuanya dibaca oleh orang banyak . Menunggu bagiku sesuatu hal yang memberi banyak waktu untuk mengerjakan apa saja” kataku lembut mengikuti kalimat sebuah cerpen yang kutulis dengan judul penantian panjang.
            “mbak. Aku baru sadar. Ternyata menuggu itu ada hal yang indah. selama ini aku benci dengan menunggu. Oleh karena aku akan menunggu untuk kita bertemu lagi. Di lain waktu” kata wanita itu kemudian meminta nomor ponselku lalu berlalu menuju mobilnya. Di kursi itu aku kembali sendiri. Tak lama kemudian ojekpun datang.
            Pengumuman kelulusan SNPTN masih lama. Aku menuggun sekitar sebulan. Kuisi waktu luangku dengan tulisan-tulisan yang rencananya akan kukirim kepenerbit. Suatu hari kuberanikan diri berjalan sendiri di kota jogjakarta. Meski tak tahu jalan tapi aku yakin pasti ketemu seseorang yang akan menunjuki jalan. maha besar Allah. aku bertemu dengan seorang wanita paru baya. Dia mengajakku berkenalan. Dia penasaran dengan kehidupanku. Tanpa banyak berfikir kuceritan semuanya. Dia tersenyum saat aku mengatakan “ saya ke jogja hanya bermodalkan keberanian. Jika di tanya uang maka akulah orang yang tidak sekolah”. Wanita itu tersenyum. Dia memberi pesan padaku “jika mau uang maka menulislah terus. Jika hari ini tulisan itu tak ada yang menengoknya maka yakinlah suatu hari nanti tulisan itu akan di perebutkan oleh para penerbit. Hiduplah dengan tulisanmu” aku tersentuh. Teringat lagi beberapa tulisanku yang terbit di majallah namun tak di bayar sepeserpun. Waktupun memisahkan kami.
            Awan tak seperti biasanya. Dilangit kicauan burung tak semerdu hari kemarin. Fikirankku melayang. dan tersangkut di sebuah nama. Wajahnya sering kali memberi cahaya tiap jalan gelap yang kulalui. Tak tahu mengapa sore itu aku teringat pada nenek. Apakah dia sakit. “Ah....pasti sehat” kataku menepis kekahawatiran
            Malam makin larut, dingin seakan merasuk ketulang-tulang. Kucari baju yang paling tebal yang kubawah dari kampung. Dan melanjutkannya dengan menulis. Aku tersentak saat hand phoneku berdering. Kubuka ternyata sms dari keluarga di kampung kalau nenekku sudah pergi menghadap ilahi. Aliran darahku seakan terhenti. dada mulai sesak. Seakan langit runtuh menempah badan yang lemah ini. kutarik nafas dalam-dalam lalu kembali mengingat tuhan. “ya allah dimana aku akan mendapatkan uang untuk melanjutkan kuliah sedang aku sudah meninggalkan kampung” kataku menunduk. Iman kembali berbisik “semua yang hidup akan kembali. Sekarang jalani hidupmu sendiri lalu sabarlah menunggu semuanya. Allah itu ada. dia tidak pernah tidur”. Lalu kurebahkan badanku menanti hari esok tiba.
            Tiga hari kemudian, aku duduk di tempat fotocopy menunggu untuk menjilid beberapa tulisan yang selesai diprint. Setelah menunggu beberapa menit, aku beranjak dari tempat duduk. Mataku tertuju pada sebuah kertas kecil yang di pojok atas tertulis “lomba penulisan esai dan cerpen bagi remaja DIY 2012” yang diadakan oleh bby (balai bahasa yogyakarta).segera kubaca dan kubawa pulang kertas itu. kubaca dengan seksama. kulihat di sudut kertas nama Y. Adhi Satiyoko. Sejenak aku berfikir tentang nama itu. “pasti dia hebat sehebat idolaku Asma Nadia karena sudah menjadi panitia pada lomba karangan cerpen” ada rasa mengurungkan niat untuk mengirim cerpen. Namun setelah kufikir dulu Asma Nadia dan Y. Adhi Satiyoko tidak seperti ini. pasti dulu  tak sekeren sekarang yang namanya sudah tertulis indah di atas kertas. Hingga akhirnya sebuah cerpen yang berjudul BERAWAL DARI CERITA PENDEK kukirim diperlombaan itu. dan sekarang aku menunggu dan menuggu namaku berada di jejeran orang-orang yang mendapatkan juara. Jika memang jalannya, aku yakin pada Allah. semua akan indah pada waktunya
           


DASAR-DASAR AKHLAKUL KARimah
·                  Pemaaf
·                  Selalu Berlindunglah kepada Allah.
·                  saat di timpah was-was dari syaitan,     selalu  mengingat kepada Allah.
·           Selalu  mengingat kesalahan-kesalahan yang di perbuat sehingga mendorong diri untuk memperbaikinya.(al-a’raf ayat 199-201)