Ibarat menangkap ayam



           Mencari jodoh ibarat menangkap ayam, dicari malah menjauh atau susah ditangkap. kalau dibiarkan saja tak dihiraukan banyak yang mendekat menawarkan diri untuk menjadi pendamping. sampai-sampai pusing sendiri untuk menentukan yang terbaik.
              seingatku, hingga bulan ini sudah ada puluhan teman-temanku yang sudah menikah. subehanallah yah. tapi tak jarang kabar pernikahan bukan menjadi kabar baik oleh sebagian orang. yah... mungkin penyebabnya adalah manusia hobbynya ngegosip kali yah. apalagi ibu-ibu rempong. hehehe
          ada dua keanehan atau hobby manusia berkenaan dengan pernikahan, yang pertama kalau cepat nikah pasti yang melihat pada mencibir “cepet banget nikahnya, mau makan?” terus kalau telat nikah ocehannya kurang lebih seperti ini “kok belum nikah-nikah ya? Tipenya ketinggian kali ya”
             Huffft.... baru dengar aja  udah nyiksa, gimana kalau  yang jadi pembahasan aku yah? Entahlah, Yang jelas, hidup itu kita yang jalani orang lain jadi komentatornya. Udah jalani saja. Takdir.
            Begini ni kasus yang intinya ingin kuceritakan: Kita samarkan saja namanya, dia adalah Sindi seorang wanita berumur 5 tahun di bawahku. Berarti umurnya belum cukup dua puluh. Dia bercerita kalau di rumahnya datang seorang lelaki hendak bertemu ayahnya. Yah... apalagi kalau bukan meminta hati anak perempuannya.
            Saat mendengar ceritanya, aku hanya tersenyum lalu berujar “kamu mau, dia mau kenapa tidak?”
Dia pun merengus dan bersandar di pundakku lalu berujar
“aku tidak bisa”
“kenapa?”
“kami masih kecil dan tidak mengerti apa-apa?” mendengarnya, pikiranku tiba-tiba melayang ke  tayangan televisi yang kusaksikan  beberapa hari yang lalu, seorang anak SD menghamili pacarnya yang duduk di bangku SMP. Berarti tak ada kata kecil dong. Menghayati.
“oh... kalau memang tidak suka yang bilang sama orang tua kamu”
“bapakku susah, sama sekali tak bisa dibantah” waduh, sekuat baja kali yah. membatin.
Bercapakan kami berakhir dengan tatapan kosongku ke arah tembok. buntu.
Di tempat lain seorang wanita yang lebih tua dariku  5 tahun, bercerita tentang kegalauannya mengenai jodoh yang tak kunjung datang.
“santai saja” saranku. Meski hati kecilku pun bertanya, besok aku dapat jodoh juga gak yah...
“masalahnya itu umurku kian bertambah, dan aku takut tidak bisa punya keturunan” mendengarnya aku kembali mengingat berita di koran beberapa hari yang lalu, ada seorang wanita yang hamil di umur 45 tahun.
“ah... sabarlah kak, jodoh itu sudah diatur Tuhan, tinggal tunggu waktu saja”
“sampai kapan”
“sampai jodohnya datang” bantal pun melayang di kepalaku. Percakapan pun berakhir dengan solusi termanjur yaitu “diTUNGGU saja” hahaha
            Kamu tahu bagaimana menikah muda dan punya anak tetapi masih bergantung pada orang tua? Aku tidak tahu, karena kebetulan masa belasan tahunku sudah lewat dan jodoh pun belum datang. Tapi setahuku dari teman yang menikah muda mereka sering mengeluarkan kalimat “lanjut sekolah yang tinggi saja, jangan menikah muda” nada yang terdengar pun seolah menyesal meski tak begitu diperjelas. Seolah.
            Bayangkan, disaat waktu yang kita gunakan untuk mengejar ilmu nyatanya untuk mengurus bayi, mulai dari popok, menyusui dan apalah namanya, padahal untuk ngeluarin ingus sendiri pun masih susah. Begitu kira-kira redaksinya.
            Meski demikian, semuanya kembali ke pribadi masing-masing. “kamu  mau, aku mau. Yuk nikah” yang diikat dengan semboyan (komitmen, ikrar untuk lebih dewasa, dan ingat semuanya karena Tuhan). Mungkin awalnya susah, tapi pada kenyataannya akan punya anak juga. Dan anak itu sebenarnya adalah bukti cinta. Begitu kira-kira pemahamanku. J
            Kamu tau bagaimaa rasanya belum menikah disaat umur sudah melewati masa ideal untuk menikah? Maaf jeng jang, aku belum merasakanya karena umurku masih ada di ideal, belum melampaui. Tapi jangan sampai.
            Tapi pengamatan yang amat dalam, dari orang-orang yang telat nikah adalah “galau tingat dewa” makan tak enak, jalan tak seru dan yang satu paling penting, tidur tak nyaman (jangan ngeres) hahaha.
            Sampai-sampai apabilah galaunya sudah mencapai stadium akhir, biasanya jadi pendiam dan sensitif.  Tapi pada dasarnya eksistensinya memang harus kita mengerti. Karena wanita pada dasarnya, ingin dijaga meskipun ada yang menampakkan dirinya sebagai wonder women (hua... kok gua yang curhat ye. hehehe)
            Hei, buat engkau adikku, yang masih muda namun orang tua mengatakan kau harus menikah. Entah itu takdir, cobaan atau apalah namanya. yang jelas jangan pernah katakan lagi kau masih kecil tapi katakanlah dengan jalan ini kau akan dewasa.
            Jika suatu saat  kau tak temukan bahagia di ujung sana lalu memilih kehidupan yang tak pernah orang lain sangka, yakinlah bahwa patuhmu akan menjadi nilai tertinggi di sisi Tuhan.
            Hallo kakak, yang masih saja jomblo padahal umur kian melangit, yakinlah bahwa manusia masing-masing memiliki pasangan, tinggal  waktunya saja dan ingat terus berusaha!!!. Eh... satu lagi jangan terlalu memberatkan!!!. (BUDAYA DAN AGAMA)
            pesanku: Jangan mendengarkan lagu kemudian seolah-olah masuk ke dalam lagu, apalagi lagu yang ini nih “jodohku maunyaku dirimu, sampai nanti kukan bersamamu” semua manusia pasti ingin menikah dan hidup dengan orang yang ia sukai, tapi kita juga harus realistis bahwa ini kehidupan bukan lagunya Anang dan Asyanti
            Bangun kakak, kejarlah cintamu. Jika sudah dapat, jadikan dirinya penambal kekuranganmu dan jadikan Kelebihanmu sebagai penambal kekurangannya. (kalau punya kelebihan si. hahaha)



Ah.... Dasar cerita Klasik !!!

          Belum usai buku-buku yang kupelajari terekam di memori, seorang teman menelponku. Ia mengajakku untuk menemaninya makan malam. Rasa ingin menolak pasti ada, hanya saja  aku tidak inginn mengecewakannya, dia sahabatku dan aku tidak ingin menyakitinya setelah ribuan kebaikan telah ia berikan padaku.
          Aku menunggunya di tempat makan yang ia maksud. Cukup lama aku menunggunya. 1 jam lewat 50 menit. “Ah.... ini janjian atau ngerjain” celotehku sambil terus memperhatikan orang-orang yang berlalu di hadapanku. Kadang ada yang menoleh sambil senyum simpul.
“sudah lama nunggunya?” tanya Vera, yang seketika sudah duduk di depanku.
“ini temanku, namanya Irma” tambahnya, sambil memperkenalkan teman yang duduk di sebelahnya.
“lama banget, sumpah bikin emosi aja” ketusku
“maaf, tadi itu jemput temanku ini dulu” belanya sambil menepuk bahu temannya.
“oh... begitu” responku sambil tersenyum paksa. Andai saja alasannya bukan itu, mungkin mulutku tidak akan berhenti mengoceh.
“Tumben ngajak makan malam?” tanyaku heran
“nantilah kita ceritaka, pesan makanan dulu saja!” 
15 menit, makan pesanan kami sudah ada di atas meja. Kami memulai makan. Sebenarnya aku lagi tidak ingin makan, tapi karena melihat ayam balado, hasrat makan pun memuncak.
“besok aku akan berangkat ke jepang” kata Vera, memecah keseriusan makanku.
“apa?” daging ayam rasanya berubah menjadi tulang, tersedak di tenggorokan. Kuraih air putih meneguknya secepat mungkin.
          Tapi kali ini, wajah Vera, tidak seperti biasanya.
“ke jepang? Ngapain di sana?” tanyaku
“mau kerja”
“kerja apa di sana?”
“apalagi kalau bukan TKI” jawabnya dengan suara merendah
“ah... serius? Kamu tidak takut dengan majikan-majikan di sana? Kamu sudah baca berita tentan TKI? Ah ngeri deh” mulutku tak berhenti menghujaninya dengan pertanyaan.
“sebenarnya aku takut, tapi mau apalagi, aku mau lanjut kuliah tapi biaya dari mana coba.  Tapi ini sudah kupikirkan matang-matang kok. Malam ini adalah malam perpisahan. Mungkin tiga tahun lagi aku pulang” matanya berbinar
“ha?” aku masi saja belum percaya
Kami melanjutkan makan. Teman yang vera bawa masih saja diam. Ah... bibirku paling gatal jika tidak mengejak orang di sekitarku berbicara.
“kalau mbaknya, mau ke jepang juga”tanyaku
“tidak” ia tersenyum terpaksa, terlihat saat ia menatapku sekilas lalu memperhatikan gadjetnya.
“dia itu lagi galau” sambung Vera lalu melirik ke arah temannya itu
“ah... kamu ini” dia sedikit malu, padahal umurnya jauh lebih di atasku
“kenapa? Bisa KEPO dong?” aku tertawa lepas
“gini, aku ditusuk teman dari blakang” ia mulai bercerita namun tetap memandangi layar ponselnya
“akhirnya curhat juga” Vera memotong
“Vera, aku mau dengar! Bisa diam sebentar gak?” agar ani terhibur dengan rasa simpatiku. meski pun aku ingin tertawa lepas melihat wajah kusutnya ditambah ceritanya yang memilukan. Klasik. Sumpah!
“temanku ternyata menusuk dari  belakang” ia mengulanginya lagi. Emang tusuk-tusuk sate. Sepertinya suka benget tuh dengan tusuk-tusukan. sudah dua kali ia mengucapkan kalimat ini namun hanya mengisahkan cerita bersambung.
“terus?”
“yah ditusuk” jawabnya.
Akhirnya tawaku meledak. Aku tak tahan melihat kepolosannya.
“kalau begitu dengarkan aku, Ver dan ani, jalani masalahmu masing-masing. Jalan keluarnya pasti ketemu di ujung usaha”
“kok tumben ngasih solusi?” tanya Vera heran berbalut ngeledek
“aku mau cepat-cepat pulang. hahaha” kupeluk Vera bertanda kami sebentar  tidak akan bertemu. Ia menangis. Kutepok jidatnya lalu kukatakan bahwa ia terlalu lebay, jepang negera yang dekat. Tak usahlah membuang air  mata. Kukira dengan begini akan memberi kesan bahwa perpisahan kami berakhir dengan senyuman.
          Mataku tidak dapat terpejam, Rasanya aku menumpuk beban dan kesedihan. Andai saja bisa dilukiskan, sedih itu sudah menggunung dan panas. Sebentar lagi akan meletus dan menyakiti manusia yang ada di sekitarnya.
          Kau tau bagaimana sakitnya ketika sahabat pergi lalu mendengar seseorang sedang ditusuk dari belang oleh sahabatnya sendiri? Sakitnya itu di sini, sambil kutunjuk kepalaku. Bagaimana tidak, sahabat pergi tak ada lagi yang mendengar cerita-cerita konyol dan sedihku dan aku teringat dengan seseorang. Teman vera malam ini membawaku mengingatnya, lelaki yang kutunggu. Lelaki yang kuanggab baik, bukan hanya memberi bahagia dunia tapi akhirat. Begitulah Predikat yang kuberikan padanya. Aku
***
“Cerita klasik” memang geli untuk didengarkan, tapi ketika dirasakan, sakitnya bukan lagi di kepala, tetapi seluruh organ tubuh.

Sebutnya saja namanya berto, lelaki yang ingin menikahi polina alias orang yang memiliki kisah ini. ia berjanji ingin menikahi polina jika uangnya sudah cukup banyak. Namun di sebuah malam yang gelap ditambah sedikit gerimis, Yang seharusnya polina tertidur nyenyak sambi memeluk guling. datanglah sebuah kabar jika berto akan menikah 5 hari lagi.
Sepanang hari menuju hari kelima, polina sepertinya begitu riang. Sedikit pun tak ada kesedihan di wajahnya. Tapi taukah engkau di balik wajahnya yang riang, ternyata lukanya sudah melebar dan membusuk. Ditambah air mata yang ia sembunyikan. Makin lembablah luka itu.
Tibalah hari ke-5, polina membayangkan wajah sang kekasih bersanding di pelaminan dengan wanita yang bukan dirinya. Hari itu polina memilih makanan untuk menemaninya. Tak tanggung-tanggung ia memilih restoran mahal dan makan sendiri. Katanya ingin melepas bayang-bayang berto. Di saat ia mengunyah makanan, tiba-tiba air matanya bercucuran bagai air hujan. Ia melempar makanan yang masih ada. ia berteriak seperti orang yang kehilangan suami. Perlahan ketika ia sadar semua orang berbalik keheranan pada dirinya, ia pun menarik nafas dalam-dalam lalu menundukkan kepala sambil  menangis tertahan, ia ingin mengambil sebilah pisau untuk mengakhiri hidupya. Sakit melihatnya seperti itu. oh... berto betapa tega kau menyakiti polina. Akhirnya aku mengakhiri film polina berto.
          Setelah melihat film itu, aku merenung lalu kembali merebahkan badan. Aku mengingat Anas, yang akan menikah esok hari. Posisiku sekarang tidak lebih baik dari polina. Namun, tak sedikit pun aku berniat mati konyol karena cinta.
“KetikaTuhan mengambil yang baik, maka Tuhan menyuruhmu menjadi pribadi yag baik lagi atau mungkin Tuhan ingin menggantinya dengan yang lebih baik.  lalu ketika kau sadar, ternyata orang yang menemaninya jauh lebih baik darimu maka Percayalah sebuah kayu tak akan menjadi mainan jika pembuatannya tidak terstruktur dengan baik alias setiap sudutnya harus saling berpasangan dan cocok. Begitu pun manusia, Tuhan akan memasangkan karakter atau watak yang berbeda agar ketika bersatu, saling melengkapi. Yang satu pendiam, maka yang satu akan menghibur dengan celotenya, ketika yang satu suka makanan mahal, maka yang satu akan makan yang lebih murah. Soalnya takut gak bisa bayar. Hahaha...

See next time...






 

Si Baso yang malang nasibnya

          Di sebuah desa di tengah hutan yang sangat lebat, hiduplah sepasang suami istri. Mereka hidup dalam keserhanaan. Sang suami bekerja sebagai kusir untuk mengantar raja-raja menuju kota. Sedangkan istrinya hanya mengurus rumah.
    Memasuki tahun ke sepuluh pernikahan mereka, sang suami mulai mempertanyakan mengapa sang istri tak kunjung hamil. 
“sabar ya” hanya itu yang selalu keluar dari mulut sang istri
Setelah memasuki tahun ke 15 pernikahan mereka, sang suami mengajak istrinya untuk ke desa seberang.
“Dengar-dengar di sana ada dukun yang hebat, yang mampu mengabulkan segala permintaan”
“tidak usah, lagian tidak baik menemui dukun. Nyebut!”
“pokoknya harus” lalu ditariknya tangan istrinya untuk menaiki delman miliknya.
      Setelah sampai di rumah si dukun, sang suami pun mengutarakan semua keluhan.
“gampang, tapi ada syaratnya” kata si dukun sambil terus memperlihatkan giginya yang omponng dan menakutkan.
“jika nanti anakmu seorang laki-laki, maka kawinkan aku dengannya ketika sudah berumur 17 tahun. Jika perempuan maka ambillah”
“bagaimana suamiku? Aku tidak mampu menyanggupinya” bisik sang istri
“tidak mengapa istriku, itu urusan belakang, yang jelas kita punya anak”
Sang suami pun mengiyakan syarat yang diajukan si dukun.
          Setelah sembilan bulan mengandung, tibalah waktunya sang istri melahirkan. Rasa bahagia bercampur khawatir, khawatir jika anak yang ia akan lahirkan adalah laki-laki. Wal hasil, anaknya sungguh seorang anak laki-laki. menangislah sang ibu, mengkhawatirkan nasib anaknya.
        Sang anak diberinya nama Baso. Ia pun tumbuh dengan cepat. Di umur 2 tahun nampak sekali bahwa esok dia akan menjadi laki-laki yang kegantengannya akan membuat banyak perempuan tertarik.
          Beberapa tahun kemudian, diumur 10 tahun, nampak ada hal aneh pada diri si Baso, ia berbeda dengan anak lelaki kebanyakan. Ia senang memainkan mainan anak perempuan, senang membantu ibunya di dapur dan cara berjalanannya mirip dengan perempuan. Setahun kemudia si Baso pun memutuskan untuk memakai pakaian perempuan. Jika sedikit saja ditegur oleh orang tuanya maka ia enggan untuk makan. Akhirnya sang ayah dan ibu menerima bahwa anaknya ternyata wadam alias hawa adam...
        Tibalah waktunya si dukun datang kerumah sepasang suami istri tersebut. Dengan gemetar, sang ibu mengatakan kalau anaknya adalah seorang lelaki.
“hahaha... kalau begitu tentukan hari pernikahan kami”
“tapi suamiku masih ada di kota. Bagaimana kalau kita menunggunya dulu?”
“ah... kamu itu banyak alasan, mana anakmu? Aku ingin melihat calon suamiku” kata si dukun sambil terus berjalan untuk membuka tirai kamar Baso
Dilihatnya baso di depan cermin yang sedang asyik menguncir rambut panjangnya.
“ini anakmu? Berbadan lelaki tetapi tingkahnya seperti perempuan?” marah sang dukun
“iyah, anakku tumbuh seperti perempuan” jawab sang ibu dengan keringat yang bercucuran karena takut.
“kalau begitu batalkan semuanya aku tidak sudih menikah dengan lelaki aneh seperti anakmu”
Mendengar ucapan si dukun, sang ibu menangis ia membayangkan betapa buruk anaknya kelak.
“Dukun sejelek itu pun tidak ingin menikah dengan anakku, bagaimana dengan wanita cantik nan ayu? Pasti melirik anak lelakiku saja tidak akan sudih” terpekur ke tanah.
       Sang suami pun pulang dari kota, didapatinya sang istri menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Sang suami mendekati istrinya,
“ada apa gerangan engkau menangis istriku?”
“aku menangis karena anak kita tumbuh seperti perempuan. Andai saja kemarin kita tidak meminta anak pada dukun jelek itu, tidak mungkin anak kita seperti sekarang ini”
“maafkan aku istriku, mungkin inilah balasan atas pelanggaranku pada perintah yang maha kuasa. (Selangkah kaki pun menuju rumah dukun, Tuhan tidak akan meridhoinya...)”
“iya, suamiku. Semoga ini pelajaran agar tidak mengandalkan kekuatan selain Tuhan”
          Selesai...




Rindu itu empedu


Berdalih rindu yang tak pernah bertemu tuannya aku ingin memeluk cakrawala agar kurasai dirinya ada dalam pelukanku. Yang kutahu bahwa rindu itu menyakitkan. Merubah siang menjadi malam gelap tak berbintang, merubah senyum jadi tangis, merubah manis menjadi empedu. Tidak ada yang nyaman.
Suara tangis bayi itu seakan merobek jantungku tiap rindu dengannya. Ah... apakah ini bertanda bahwa aku belum bisa menerima kejadian 21 tahun yang lalu. Saat aku merengek meminta ia kembali. Mungkin saja.
Rindu itu menghujam tepat di dadaku.  datang tia-tiba dan sesekali menamparku agar sedikit sadar bahwa rindu ingin di hargai juga. Tapi maaf rindu, engkau tak begitu nyaman untuk dijadikan teman apalagi  sahabat.
Suatu saat aku yakin bisa merasakanmu dari balik sisi yang berbeda.
Tapi tahu tidak kalau hatiku merindui tiga orang manusia. yang pertama, seorang manusia yang mustahil bersamaku, ke dua yang sedang bersamaku dan ke tiga manusia yang akan bersamaku. Tapi sayang, mereka tidak tahu jika aku merinduinya. padahal rinduku istimewa.
Sudahlah rindu, kamu yang lunak jangan selalu berontak. itu tidak baik untuk kesehatanmu. Jika Tuhan berkendak maka kamu akan bermuara. Jika memang bukan sekarang, pasti ada lain waktu. Rindu maafkan aku, sebaiknya kamu kukubur saja agar tidak merasai lagi kekecewaan akibat tak terbalaskan.
***
Sembari menyembuhkan luka kemarin, kita berjalan melewati pelataran bunga kamboja. Ia hilang ditelan cinta. kemanakah dirinya? Apakah benar bahwa ketukannya kemarin menjadi dendam hari ini. Aku berteriak namun sadarku memerintahkan untuk mengambil cermin lalu berkaca.
“kenapa harus marah?” tanya cermin
“aku tak suka diperlakukan seperti ini”
“apakah kamu tidak melakukan hal serupa di hari yang lalu kepada orang yang pernah mengetuk pintu”
Kupecahkan cermin itu lalu menyeru namanya.
Hilang, ia hilang ditelan bumi, aku sendiri mengais bahagia di tengah gurun pasir yang panas. Apa yang harus kulakukan mama? Aku benci dengan senyum dan baik yang ia berikan sebelum membukakan pintu. Tapi sekarang, haruskah aku marah atau menerima saja takdir Tuhan. Alangkah buruk perangaiku.
Rindu, hilang, tolong jangan datang padaku. Aku sangat sakit lebih dari tersayat pedang. Tolong menjauh dariku dan berilah aku sedikit belas kasihanmu.
Telah kukuburkan nama-nama manusia yang membuatku menangis sesekali tertawa bak orang gila. Aku ingin mereka menjadi sebuah nama saja tidak lebih dari itu.
Tuhan...
Yang aku tahu, engkau maha penyayang dan yang kupahami engkau memaafka manusia yang selalu ingin memahamimu. Dalam renungan ini, kusaksikan engkau yang maha luar biasa mengajarkan manusia atas kesalahannya.
Tuhan, tolong rindu dan hilang itu di tegur agar tidak menyakitiku sampai aku telah terbaring di bawah gundukan tanah. Aku bahagia berjalan menujumu dengan kaki terseret dan luka-luka yang menganga tak berkasih.
Ketika esok manusia sepertiku tak pernah dianggab dekat dengan pemberi hidup, maka cukuplah pemberi hidup yang tahu akan diriku.
Apa yang kau berikan melalui nada-nada sumbang bisa kupahami walau penuh gerangan.
Selama ini yang kupahami engkau akan memberi bahagia diujung usaha manusia.
Tuhan...
Rinduku teramat menyakitkan dan hilang sebagai pelengkapnya...
Malam ini, di balik jendela berwarna hijau yang sudah kusam aku meminta agar rindu ini terbang berserakan lalu hilang di luar sana. Di malam yang gelap tak berbintang.