Laoki Mai Uangkalingai Caritata...


“Aku ingin memelukmu jika masalah kian hari terlihat seperti bukit uhud. Aku ingin bersandar di dadamu untuk mengatakan “bantu aku merasakan ini semua”
Aku bak ayam kehilangan induk tak dapat berteduh di balik bulu tebalnya. Entah harus berkata apa, yang kurasakan sekarang hanya ada hitam “tau ah.. gelap”. Aku merasakan sedikit demi sedikit kesabaranku terkikis.
Aku butuh engkau, aku  butuh engkau...
Setidaknya untuk melihat air mataku.
Tuhan...
Bak untuk menampung air mataku sudah tak berfungsi. Salahkah jika ditumpahkan begitu saja.
aku terjebak masalah. aku ingin lari saja menemui ayah...
          seperti inilah yang diucapkan seseorang saat aku duduk di samping kanannya. seolah-olah  Ia marah dengan keadaan yang menghimpitnya. Jika kukatakan “sabar yah” ia tiba-tiba menyerangku bagai srigala menemui mangsa “aku sudah sabar berpuluh-puluh tahun” apalagi jika ia mengeluarkan kata “andai kamu yang merasakannya” tiba-tiba lidahku kelu.
          Iya aku bisa merasakan cerita orang itu. yaitu saat ibu dan ayahnya berpisah, ia menyandarkan sebagian hatinya untuk bertahan hidup pada seorang seseorang yang pernah berjanji ingin hidup bersamanya.
          Namun keinginan tak selamanya sejalan dengan takdir. orang yang ia sayangi ternyata memilih yang lain. Meski menurutku ini adalah cerita klasik, tapi tak semudah yang orang lain bayangkan.
Jadi apa yang bisa kulakukan?
Aku hanya terdiam, tiba-tiba seluruh ingatanku bertumpu pada sejarah.
“Hei kenapa kamu diam?” ia mulai marah padaku karena tidak menjawab pertanyaanya.
Kujawab dengan liri “karena aku juga merasakan hal itu”
__Tapi bukankah Tuhan memberi cobaan karena kita beda dari yang lainnya. J__