Bahagia di hari Natal


Hari Natal bagiku spesial, meski banyak orang seagamaku terus-terusan berdebat tentang hal ini. Aku tidak ikut-ikutan. Sungguh.
Di hari Natal aku banyak berdo’a bahkan shalatku tak seperti hari-hari biasanya. Lebih khusyuk, yah... mungkin itulah namanya.
 Hari Natal bagiku, seakan melihat masa bahagiaku sewaktu kecil bersama ibu dan ayah.  Aku merasa ada ibu yang memegang tangan kiriku dan ayah memegang  tangan kananku sambil berjalan di pasar malam. Ketika aku menaiki kuda-kuda, mereka melihatku sambil tersenyum sesekali melihat wajah satu sama lain.
saat aku berlari mencari permainan baru, tersungkurlah tubuh kecilku yang sangat gesit ini, ayah langsung menggendongku “duh anakku jangan nangis yah.. kita main robot-robot aja” aku tersenyum lalu tepuk tangan sambil memperlihatkan gigiku yang habis dimakan ulat. Aku seperti putri di sebuah kerajaan antah barantah Yang hidup bahagia. Tak ada beban apa pun. Oh sungguh hari Natal membawaku ke dunia fantasi anak-anak. Aku sangat bahagia. Masih melihat ibu dan ayah saling bertatapan mesra dan yakin bahagia selamanya. Yah... itu hari Natal ke-4 dalam hidupku ada di pangkuan mereka. Setelah itu, berubahah dunia menjadi dunia dongeng. Menanti sang raja membawa obat penawar agar ratu terbangun dari sakitnya. Oh... oh.. oh... lupakan!!! Itu dunia fantasiku saja.
Hari Natal dalam hidupku adalah moment terindah yang tak bisa kulukis memakai kanvas semahal apa pun. Hari dimana aku merasa paling disayang banyak orang, aku orang yang paling spesial di antara orang-orang di dunia ini. Yah... dunia. 
 Hari Natal tidak bisa tergantikan dengan hari-hari biasa. Karena hari ini awal untukku mengukir kisah hidup baru yang lebih dahsyat lagi dan menerima amanah lebih berat lagi. sebuah momnent yang memberiku pertanyaan “seberapa banyak hal yang telah kamu lakukan hingga hari ini?”.  Aku sadar, tak pantas tersenyum menjawab pertanyaan ini, karena tak satu pun hal luar biasa yang pernah kulakukan. Dengan wajah sedikit menunduk aku menjawab “Insya Allah setelah hari ini”  ini adalah jawabanku tiap hari Natal tiba.
Menuju hari hari Natal, aku selalu bersiap-siap. Menunggu di bawah jam dinding memastikan jarum panjangnya melewati angka 12 untuk menuju tanggal 25 desember. Ini kulakukan sejak ayah dan ibu tak pernah lagi terlihat bersama setelah Natal yang ke 4. Saat melihat jarum jam melewati angkan 12, gemuruh di dadaku meledak. Cahaya membias dari langit menerangi wajahku saja. Hanya wajahku. Aku bagai ratu yang terbang bahagia memakai sayap yang dipinjamkan bidadari. Aku merasa berdansa bersama pangeran. Memakai baju ala kerajaan dongeng. Rambut yang terurai panjang dan sangat cantik. Seperti barbie.
Kenapa aku sangat bahagia? Karena seluruh dunia bahagia menyambut hari ini. Hari di mana aku dilahirkan dari rahim seorang wanita bugis. Yah... benar, 25 desember aku ulang tahun. Ulang tahun yang tak pernah keluargaku ingat. Karena bagi mereka ini bukanlah hal penting. Katanya kita bukan orang kota yang merayakan hal seperti ini. Dan memang itu benar. Aku juga sepakat. Namun, tak  bisa kupungkiri aku bahagia dengan kebahagiaan orang di seluruh dunia terutama umat Kristiani dengan datangnya tanggal 25 desember. Aku merasa ini adalah acara ulang tahunku yang dimeriakan semua manusia. Tepuk tangan manusia seakan memberiku kekuatan bahwa “jadilah orang yang lebih baik lagi diumurmu kali ini” meski semuanya hanya “bagaikan”.
Tuhan... terima kasih atas semua kebaikanmu. Aku bahagia menjadi hambamu. Aku bahagia dengan semua yang kau berikan. Aku bahagia dengan cintamu. Aku bahagia dengan hidupku. Aku bahagia. Aku bahagia, aku bahagia. Aku bahagia dengan air mata yang tak bisa kering ini.
Umurku bukan lagi anak belasan tahun, dosa telah dibeban padaku seutuhnya. Pilihan telah orang tua serahkan sepenuhnya. Mereka tak lagi bertanya “siapa yang menggodamu. Sini saya patahkan lehernya” tetapi “siapa yang menggodamu? Kuatkanlah imanmu karena nafsu terus bertahta dalam hati manusia yang menjalin cinta”. Yah...... ternyata aku sudah besar, tak boleh lagi bercanda sambil menarik tangan teman lelakiku lalu meletakkan di kepalaku dan berujar “jaga aku selamanya ya”  ini permainan nikah-nikahan waktu masih kecil. Aku masih ingat. Nama temanku itu........ ah... sudah lupa ternyata. Tapi sekarang pasti sudah besar.
 Alhamdulillah, syukurku padamu  Tuhan yang telah menjadikanku salah satu dari hambamu yang beragama Islam hingga hari ini. Terimah kasih atas umur yang masih kau pinjamkan padaku. Umur yang akan memberiku kekuatan agar kuat menopang ujian esok hari yang lebih luar biasa.

Jogja 25 desember 2013

Sulawesiku sayang, Sulawesiku malang

            Sudah beberapa hari ini aku terganggu, bukan sedikit tapi banyak. Telingaku penuh dengan ocehan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Sudah lebih setahun aku hidup di perantauan. Bersama orang-orang dari berbagai suku. Susah mencari teman. Mungkin harus lebih bersabar menanti orang yang ingin berteman denganku. Ternyata sebenarnya bukan itu, tidak, tidak karena itu. melainkan memang aku dijauhi. Setiap hari pulang pergi kampus sendiri. Kalau pun dapat teman, hanya bertahan ¼ minggu.
            “Memang orang-orang di sini kalau ada saja maunya lalu deket-deket” kata salah satu temanku yang dari luar pulau jawa. Aku tak begitu percaya karena didikan dari orang tuaku bahwa kita tak pernah tahu sifat seseorang sebelum berada di dekatnya ditambah pesan dari dosenku yang mengatakan bahwa mengapa ada rasa benci dan buruk sangka, karena mengetahui kesalahan dan kekurangan orang atau kelompok hanya dari mulutu kemulut tanpa pernah mencari tahu sebenarnya.
            Memang tak mudah mencari teman yang sesuai prinsp hidup kita. Apalagi jika berada di tempat yang jauh dari tempat kita dibesarkan.
            Tapi aku kadang bertanya, setelah kejadian beberapa waktu lalu tentang keberadaanku. Aku berfikir, mengapa Tuhan menciptakanku di tengah-tengah suku bugis. Apa rahasia Tuhan. Dulu aku merasa argumenku tentang adat dan kelebihan suku adalah suatu kebanggaan. Tapi entah mengapa beberapa hari ini kebanggan itu berubah menjadi tanda tanda tanya besar dalam benakku “Benarkah kebanggaan ini? Mengapa aku harus tercipta dari sebuah golongan masyarakat yang kental dengan adatnya? Mengapa aku tidak terlahir dari keluarga perkotaan yang hidup  netral tanpa ada sekat-sekat?” huffft... kucoba menyekah peluh yang kurasa tak begitu banyak dijidatku.
            Siang itu hujan sangat lebat. Aku tak bawa payung. Kufikir lebih baik naik bus saja. lebih nyaman dan tidak perlu berdesak-desakan. Kakiku melangkah saat bus berwarna hijau itu tepat berhenti di depanku. Aku duduk dengan gesitnya takut jika nanti bus menancap gas dan aku akan terlempar. Di sini para supir tidak seperti kebanyakan daerah, seakan jalan raya milik sendiri orang lain Cuma numpang lewat.
***
            Malam itu perut menegurku yang sedang asyik duduk di depan laptop hijau murah milikku. Aku meyambar jilbab yang tergantung di belakang pintu kamar. Kulangkankan kakiku segera mungkin bersama teman sekontrakan. Sambil bejalan perlahan, kubuka dompetku. Ternyata isinya tinggal 2000. aku beralih ke atm tersekat. Kuambil sekenanya saja karena isinya memang tak begitu banyak. Saat kakiku melangkah keluar ATM, wajahku tepat tertuju pada seorang lelaki yng kuperkirakan umurnya 50-an. Tak perlu tersenyum dalam keadaan seperti ini, karena wajah bapak itu sepertinya tak membutuhkan senyumku dan perutku pun tak cukup kuat memberi energi pada wajahku untuk membentuk senyum.
            “eh.. di manaki makan?” tanyaku pada teman
          “kita saja maunya di mana” jawab temanku yang wajahnya juga pusat pasih karena kelaparan. Heheh rasanya aku ingin ngakak jika lihat wajahnya. Aku berfikir, kami berdua tengah malam seperti ini mencari makan seertinya lucu saja sih. Katanya wanta tapi kalau soal makan, ga’ kalah tuh sama lelaki.
         “orang makassar ya?” tanya bapak yang berambut putih itu. menyapa dengan wajah yang sangat pahit, sampai-sampai aku tak bisa membedakan mana kopi mana wajah bapak itu. sumpah wajahnya buat jengkel.
            “iyya pak” kami bersamaan menjawab.
            “pantasan” celetusnya sambil memutar biji matanya yang saya tahu bin yakin kalau ia tidak suka dengan orang-orang sulawesi
            “kenapa pak?” pertnayaan yang kuyakini adalah awal dari perdebatanku.
            “di sana kan orang-orangnya kasar, suka buat kerusuhan, mana otaknya pas-pasan lagi” tuhaan.. darahku seketika mendidi, Meski hal ini selalu kudengar. Aku mendekati motornya sambil terus menatap matanya. Jika di dunia ini ada     lomba orang terjelek dan bebal, maka bapak ini yang akan menjadi juaranya.
           “maaf ya... tidak semua lo” fikirku jika reaksiku brutal maka ia lebih yakin lagi          dengan apa yang ia katakan tadi.
            “yuk kita pulang” sambil menarik tangan temanku yang hanya melihat ke arahku dari tadi.
            “mari pak” kata terakhir untuk meyakinkan kalau kami tak sejelak yang ia katakan. Bapak itu tak menjawab giginya hanya terlihat. Tapi bukan karena senyum tapi cengengesan yang dibuatnya untuk menghibur diri karena kami tidak terpancing untuk orasi di depan ATM itu... yuuuu demo kali
            “heehhe andai saja saya bawa spidol dan kertas, sudah dari tadi tuh” celotehku
            “ngapain?” tanya temanku “dari tadi curhat di kertas” heheheh kami pun berjalan santai seolah-olah malam itu adalah pagi hari.
***
            Lorong yang kami lewati terlihat sepi. Tidak seperti tadi saat kami berjalan ke ATM. Lorong yang hanya memakai lampu 15 watt itu terlihat seram. Aku hanya berharap di depan sana tidak ada preman-preman yang menggangu. Aku dan temanku mencoba menutupi rasa takut. Sembaranglah kami kerjakan. Tertawa bahkan cerita membahas tentang diriku yang kemarin dikejar-kejar orang gila. Namun takut lebih besar ketimbang cerita-cerita lucu yang kami rangkai. Akhirnya kami pun berlari seperti anak kecil yang ketakutan suster ngesot.
            “mau ke mana?” seorang muncul dari balik tiang listrik. kami saling berpegangan. Menyusul lagi dua temannya. Mereka bertiga sekarang. Wajahnya sangar, mirip yang di TV-TV itu. mataku mulai berkaca-kaca takut jika dia berniat buruk ke kepada kami berdua. Laki-laki yang berambut panjang yang keliatannya bau itu mendekatiku. Terlihat jelas tatto-tatto yang bertegker di lengan kanannya. Gambar burung hantu. Yah... tatto dan wajahnya beda-beda tipislah.
            “mau apa? Awas jangan mendekat” ancamku dengan mulut terbata-bata. Sambil memegang tangan temanku yang dinginnya seperti es batu. Dia sangat takut. Dia memang orangnya penakut.
            “jangan takut, kamu dibelakangku” kucoba menenagkannya. Lelaki itu mendekatiku dan ingin menyentuh wajahku.  Kutepis tangannya lalu menabok lengan besarnya itu. aku tak takut jika sudah berani menyentuh. Kodorong badan besar bak kudanil itu. ia sedikit terjatuh meski tidak sampai ke tanah. Segera kutarik tangan temanku membawanya berlari. Para pereman itu mengejar kami. Sungguh, tak satu pun ada yang melihat kejadian ini. Aku berhenti untuk mencegah preman itu dan menyuruh temanku berlari
            “tapi, kamu?” ragu untuk meninggalkanku
         “jangan tapi-tapian, lari saja!” teriakku. Preman itu memegang tanganku,     membuatku sedikit pun tak bisa bergerak. Salah satu dari mereka menamparku. “Seperti ini ni orang sulawesi. Perempuanya sok kuat dan jual mahal. Mau melawan?” dilayangkannya tamparan lagi. Terasa ada sedikit darah yang keluar dari telingaku. Aku hanya diam tidak berani lagi berkata- kata. “Aku benci orang-orang sulawesi” berteriak di dekat telingaku wajahnya seperti menaru dendam. “bawa dia” perintah lelaki bertubuh besar itu kepada kedua temannya. Oh bukan, Tepatnya adalah anak buah. ia membawaku pergi.
            Semburat akar terlihat di langit hitam. Petir tiba-tiba datang. Dan  tak lama lagi huja turun. aku sendiri di tangan tiga lelaki preman. Entah apa yang ingin ia lakukan padaku. Aku di masukka ke dalam gudang. Di sana aku diikat. mereka memulai introgasinya.
            “kamu orang sulawesi kan?” masih dengan nada biasa.
            “iya” jawabku tenang. Aku pasrah
            “kamu wanita bugis, yang sukanya jual mahal. Orang tuanya tak tahu malu. Iya kan? Ha!!!” Lelaki jelek yang di tangannya penuh tatto itu memegang lenganku. Tampaknya ia sangat marah. Aku hanya terdiam.
            “karena wanita bugis aku seperti ini. Karena budayamu aku seperti ini. Tau tidak? ha!!!!” meletakkan jari telunjuknya di dahiku. Aku gemetar. Aku takut mati. Lelaki yang ada di depanku tiba tertunduk lemas. Lalu terkulai ke lantai.
            “karena budaya bugislah kekasihku tak menjadi pendampingku. Ia menikah dengan lelaki lain. Dan aku hidup sendiri seperti sampah. Aku hanya ingin dia. Tapi mengapa cintaku tak sampai hanya karena uang. Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaaaaaaaa?” sambil memukul-mukul lantai. Aku tersadar bahwa lelaki yang ada di hadapanku ini terkena CINTA TERTOLAK KARENA DO’I PANAI. Aku terbawa suasana. Titik air keluar dari mataku. Aku kasian melihat keadaan lelaki itu. ke dua temannya menariknya untuk bangkit. wajah premannya hilang seketika. Kulihat ia mengatur nafasnya untuk bangkit. Matanya terlihat merah. Tak kusangka ia mengeluarkan pisau dari belakang bajunya.
            “Aku akan membalas dendamku ini kepadamu” memainkan pisau itu di wajahku. Aku gemetar sekujur tubuhku dingin. Pisau yang ada di wajahku pelan-pelan dibawanya ke belakang. “sruuuuuuuuuttt” kurasakan benda tajam menusuk bahuku. Kurasakan ada cairan yang keluar, bahkan sempat terlihat jelas cairan itu. warnanya merah. Yah.... benar itu darah. Mataku berkunang-kunang hingga akhirnya tak dapat melihat apapun kecuali gelap. Aku sudah mati.
            Aku terkejut saat terbangun, segera kutepis hordenku. Cahaya di luar sana sudah sangat terang. Yah.. lagi-lagi aku terlambat shalat subuh. aku berlari ke WC mengambil air wudu dan segera shalat subuh. Jika mencari orang yang sukanya telat, jangan jauh-jauh sayalah ratunya. Semuanya serba lamban. Maka dari itu rata-rata baju yang saya beli adalah baju yang tiak menggunakan kancing. Bila dihitung, satu kancing aku biasa mengaitkannya semenit. Hitung saja jika sepuluh kancing!. Itulah analoginya.
            Aku bersandar di dinding kamar, memutar-mutar otak mencoba mengingat mimpi buruk itu lagi. Aku tahu mengapa aku mimpi seburuk itu, pasti karena semalam ketemu sama bapak tua di ATM dan menghabiskan malamku membaca berita tentang pembacokan di daerahku yang disebabkan hanya karena uang panai’nya kurang (uang belanja pada acara pernikahan bugis-makassar). Ditambah pertanyaan dosenku beberapa hari yang lalu “Mengapa orang sulawesi itu sukanya demo? Mengapa lebih mengutamakan pukulan ketimbang berbicara degan kepala dingin?” mendengar itu, aku tersenyum untuk mengendalikan suasana. Dengan sedikit senyum dipaksakan aku mencoaba menjwab “Budaya sulawesi teutama bugis-makassar it mengutamakan tak banyak bicara pak. orangnya tegas loh pak. Kami lebih baik berbicara di depan ketimbang di belakang. itu sudah harga mati” sedikit bercanda. ia melanjutkan dengan “makassar yang saya kenal adalah daerah yang paling kurang memegang agama selain islam tapi ko’ seperti itu?” sambil memukul meja. Aku hanya diam malas mereponnya. Toh susah ia pahami. Diam saja mungkin leih baik pikirk. Sepertinya jika aku melihat dosen ini dia mempunyai dendam. Dari wajahnya ia menyimpan masa lalu pada orang sulawesi. Aha setelah kuselediki betul sekali apa yang tersirat dan tersurat dalam benakku. Ia pernah terkhinati oleh wanita bugis. Yah... lebih tepatnya kalau zaman sekarang MAPALA (mama papa melarang). Menurut cek and ricek kampus, ayah dari perempuan tersebut melarang memilih calon suami dari daerah lain. Yah............. duh... miris juga yah...?
            Sekarang aku ingin berbagi pilu sebagai wanita bugis. apalagi dengan nama Al bugisy. Tak banyak yang suka denganku sewaktu menjadi MABA. Aku katanya terlihat arogan dan sok pintar. Yah... ukuran sulawesilah. Aku rasanya ingin menggigit orang-orang yang selalu melihatku dari sisi buruk wanita bugis. padahal apa bedanya wanita bugis dengan yang lain. Aku merasa perbedaan budaya, agama, dan suku bukanlah hal yang aneh, karena dalam perjalanan ini kata Tuhan, hanya Takwa yang membedakan kita.
            Memang aku akui bahwa ada tradisi sulawesi-selatan yang susah orang lain terima. Yaitu Do’i panai. Wacana ini sering kali jadi pembahasan banyak kalangan. Mulai dari kaula muda sampai kaula Tua. Sebanarnya suatu adat atau tradisi, jangan selalu melihat dari sisi negatifnya. Taka ada satu suku pun di dunia ini yang sempurna. Di manapun Tuhan menitipkan kita, itu adalah sebuah hadiah. Urung niatku meninggalkan budaya yang telah membesarkan menjadi seorang wanita yang lebih yakin pada panngadareng. Panngadareng adalah wujud kebudayaan Sulawesi Selatan yang menjelma menjadi Siri’. Kemudian dengan siri’ itu seseorang membawa dirinya berinteraksi dengan sesamanya. Nah... dalam interaksi dan kebersamaan itulah menjelmalah menjadi pesse atau pacce.
            Berbicara mengenai do’i panai yang menjadi tema hangat di kala hujan bagi pria-pria. Bukanlah hal tabu untuk selalu kita dengar. Namun, saya sebagai pencetus wanita bugis ingin mengeluarkan argumen. Sebuah ungkapan hati dengan beberapa refrensi tentang sejarah sulawesi selatan. Begini, beberapa hari yang lalu saya sempat membaca tulisan di salah satu teman yang mengatakan seperti ini “Mending dengan uang belanja 5 Juta atau 10 juta, tapi keturunan yang dihasilkan adalah PARA PENGHAFAL ALQUR'AN DAN ULAMA-ULAMA CALON PEMIMPIN UMAT MASA DEPAN !!!!” saya menggaris bawahi kata mending dan tanda seru yang berderatan sebanyak 4. Kata mending adalah kata perbandingan. itu berarti adalah pilihan. Pilihan yang tepat.
            Tak mengapalah jika 5 juta atau 10 juta menjadi persoalan, tapi di sini aku mencoba membahas adat istiadat yang dilihat dari kaca mata budaya, bukan agama. Jika kita memakai kaca mata agama, maka hal ini sulit kita terima. Namun Tuhan telah menganugrahi kita akal untuk mencari dan menyeimbangkan antara agama dan budaya. Dan aku merasa selama budaya tak menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Whay not? Tak ada masalah.
            Ini yang menjadi kekeliruan lelaki yang selalu menganggap bahwa uang panai’ itu takkala bunuma deh. Padahal harus kita tahu mengapa uang yang digunakan seorang lelaki untuk menyunting wanita-wanita bugis itu sangat tinggi, itu dipengaruhi oleh sejarah. Di sulawesi selatan ada tiga kabupaten yang terkenal yaitu Gowa, Bone, Wajo. Dari ketiga kabupaten ini masing-masing mempunyai keahlian dalam bidang ekomomi. Sinjai yang terkenal dengan keahlianya dalam membuat perahu. Wajo dengan jiwa dagangnya dan Bone yang ahli dalam bidang bercocok tanam. Dari ketiga kabupaten ini sulawesi selatan terkenal dengan kemakmuran perekonomiannya. Meski pernah mundur pada Abad XVII. Nah...... setelah saya mendongeng, kita bisa memetik sebuah kesimpulan bahwa sanya orang-orang sulawesi terdahulu memang memiliki banyak uang.
            Trus ada lagi ni yang nanya, “Jadi di sulawesi itu banyak perempuan yang perawan tua ya?” duh... gubrak deh jika bahasnnya perawan tua.
            “Tidak juga. Karena di Sulawesi lelakinya tangguh. Jika dia mencintai wanita yang ia inginkan maka ia akan berjuang sekuat tenaga” jawabku. “Hehehe meski ada ada juga sih pake uang orang tua” bisikku dalam hati.
            Terakhir, semuanya kembali pada masing-masing prinsip. Namun satu hal yang harus kita tahu bahwa tak baik jika selalu melihat golongan yang paling baik adalah yang kita yakini. Cobalah membuka hati dan mata bahwa perbedaan adalah Rahmat.
            Terkhusus untuk para lelaki Bugines...
            Tuhan tidak akan memberikan ujian melewati batas kemampuan hambanya. Kita di ciptakan terlahir dari daerah yang sangat kontroversi karena Tuhan tahu lelaki bugis kuat dan pantang menyerah. Nama saja pelaut. Hehehheh popoye kaleee. Meski banyak yang memutar haluan untuk memilih wanita yang memudahkannya.
So, Pilihan ada di tangan Anda...
            Ettttttts... ada lagi, tidak semua loh yang dikatakan orang tentang do’i panaik itu benar. Menakuti-nakuti orang lain dengan matematika (10+20+30+40+50 dan seterusnya) cobalah datang dengan keikhlasan dan keyakinan penuh pada Tuhan ke rumah wanita idaman anda. Bernegosiasilah! Karena sebenarnya hati orang-orang sulawesi itu lembut namun terbungkus dengan ketegasan wajahnya.

“setelah aku dewasa dan sadar pada semua takdir Tuhan, rasanya tak mudah untuk meninggalkan budaya yang telah membawaku pada hari ini. Hari dimana aku tersadar bahwa orang tuaku yang terlahir dari suku bugis bahkan mati  pun akan tetap di sana adalah kekuatanku untuk terus menjadi muslim yang selalu menghargai perbedaan. Met bobo Bunda... semoga bunda disayang Allah”



Lelaki dalam pertapaanku

Beberapa hari ini aku lebih ingin sendiri. Menghabiskan waktu sendiri di kamar. Aku lelah dengan keadaanku. Keadaan yang menjepitku saat ini. Aku tak tahu harus menyimpan kepala dan hatiku di mana. Aku ibarat benda yang muda untuk dilempar kemaan saja. Tapi tak pernah ada yang bertanya ada apa denganku. Tak ada yang tahu kalau aku punya cerita yang sangat susah kuungkapkan. Sebuah kenyataan hidup yang harus kuterima sejak dulu.
Memang aku tak mau ada yang tahu. Aku tak suka  jika orang yang berjarak dekat denganku mulai mengukur jarak dengan melihat siapa aku. Aku sesak dengan ini semua. Tiap wajah-wajah mereka datang dalam menakku. Nafasku seakan berhenti seketika. Dadaku sesak kepalaku ingin pecah.
Yang tahu hanya Tuhan...
Awal mula, segala sesutu mudah untuk kumiliki. Namun setelah insiden itu, semuanya  mulai goyang. Satu persatu runtuh. Hingga kini tak pernah direnovasi. Taukah engkau saat keluarga terguncang? Taukah engkau saat pegangan mulai patah? Taukah engkau ketika penghayatan itu hanya diriku sendiri yang merasakan? Sungguh, andai engkau tahu badanmu akan gemetar menahan ngilu yang menakutkan itu.
Sudahlah lupakan kejadian jadul yang tak berjudul itu. kita beralih di zaman ini saja. Zaman yang katanya modern. Tapi bagiku sih, sama saja. Semuanya jadul.
Suatu hari, ada lelaki yang datang ingin menyembuhkan lukaku. Namun ternyata aku terkena penyakit masa lalu. Yang mengukur semua lelaki dari kejadian itu. Aku tak mudah mencintai lewat hati. Ia pun pergi perlahan dan aku kembali sendiri dalam pandangannNya. Aku merasa hal itu tak penting untuk kujadikan masalah.
Aku masih bersama aku di sini dan masih tetap di sini. Bersama cerita-cerita yang jadul. Aku sama sekali tak membenci, tapi luka ini perlahan melebar dan aku merasa akan sakit berkepanjangan jika menyimpannya terlalu lama.
Pernah ketika aku bertemu seorang wanita yang paham betul watakku dalam menyampaikan gagasan seputar pria. Ia mulai mensiasatiku dengan masuk ke dalam ruang rahasiaku. Ia bertanya
“kamu ini punya teman dekat?” aku tersenyum mengimbangi pertnyaan yang koyol bagiku saat itu.
“teman dekat ya pasti banyaklah. Ada teman kampus, teman serumah dan banyak lagi” jawwabku meski kutahu pertanyaannya itu ingin menyinggungku. Ia tersenyum lalu meninggalkanku. Senyum yang kupastikan terpaksa.
Entah apa di benak kebanyakan temanku ketika aku mengatakan tak mau pacaran. Tapi jika kuperhatikan, mereka yakin kalau aku salah satu wanita yang tak mau mendekati zina. Aku terlihat alim dan sebagainya. Mereka salah total. Mereka tak tahu ada apa denganku.
Aku terlalu takut lalu menjauh dari suatu kehidupan yang tak ingin terulang. Aku takut jika esok cerita-cerita jadul itu tampil di layar hidupku. Karena bagiku lelaki yang baik itu, mereka yang tak pernah menyatakan suka namun mereka bergerak. Aku tak suka dengan mereka yang hanya panjang lebar tentanag cinta lalu menyakiti.
Ada pesan singkat yang ingin aku bagikan pada kalian wanita yang berparas cantik, yang berkerudung maupun tidak. Islam atau tidak bahwa lelaki punya sisi yang tak akan pernah kita ketahui. Jadi, biarkan semua tingkah laku kita tujukan pada tuhan lalu biarka Tuhan yang memilihkan kita lelaki yang tak akan pernah berkhianat.
Tahu tidak mengapa Tuhan melarang kita memulai cinta sebelum ada ikatan sah? Agar kira terpandang dan memiliki harga mahal.
Biasanya lelaki sensitif jika dikatakan penghianat. Tapi jika ada lelaki yang tak tersinggung maka dialah lelaki yang sensitif untuk memulai cinta sementara.
Ini hanya perspektifku saja. Tak menyinggung sama sekali. karena semua manusia memiliki pandangan tersendiri..
Lelaki adalah penyebab kebahagian dan bisa juga penyebab kesengsaran yang tak ada habisnya. Itu yang kudapatkan dari perjalanan ini.
Yah... sebelum menutup tulisan ini, aku ingin berbagi pengalaman dari seorang lelaki padaku di zaman purbakala. Ah....salah, terlalu jauh rasanya. zaman yunani sajalah. Begini nih ceritanya,
“mengapa wanita bugis memiliki adat pernikahan yang memberatkan kaum adam?”
“karena ketika lelaki mencintai wanita, maka ia akan berjuang demi cinta. Dan setelah itu biarkan wanita yang berjuang melayani hidup suaminya” jawabku sedikit tenang saat itu
“jadi  harus dengan uang” ia tertawa sedikit mengejek
“jadi mau kamu apa?”
“hapus kebiasaan buruk itu”
“Jangan dihapus. Tapi kau yang akan kuhapus dalam hidupku. Bila kujelaskan hakikat uang dalam sebuah pernikahan adat bugis, tak akan pernah ada ujungnya. Maka jika kau tak setuju, maka pergilah mencari hal-hal yang mudah yang tak memberimu tantangan”
          Ia pun pergi...

kembalilah aku mengingat kisah cinta mereka yang terhianati oleh lelaki yang berhidung belang-belang itu. aku ingin muntah rasanya jika mengingat perlakuannya pada perempuan yang berwajah cantik itu.


“Maka bertambah lagi julukan untuk para lelaki”.




Aku mengenalnya lewat Ibu

 Jarum jam sudah menunjuk angka 02.00 dini hari tapi mataku tak sedikitpun ingin tertutup. Aku sedikit takut karena besok aku ujian. Aku takut jika dalam ruangan mataku enggan membantu untuk menjawab soal-soal ujian. Kucoba merenungi apa saja yang membuatku seperti ini. 30 menit aku memandangi sudut-sudut kamar ini ada 1 2 3 masalah yang kudapatkan.  Tapi masalah yang membuatku hingga hari ini meringis kesakitan saat mengingatnya saat  aku bertemu dengan seseorang di sebuah pusat perbelanjaan.
saat itu aku ingin meraih mie instan yang cukup membuat tanganku sulit meraihnya karena terlalu tinggi bagiku.  Sungguh di luar dugaan tatkala mie yang sudah ada di tanganku terlepas. Jatuh tepat di kepala seorang lelaki berambit panjang dengna warna coklat keemasan yang sedang mencari bahan bumbu masakan yang letaknya di bawah mie instan.
“astagfirullah... Maaf pak” spontan menunduk dan memunguti mie yang berserakan
Ia menatapku. Wajahnya tampak geram. Aku menunggu ia meresponku. Tapi ternyata ia tak menggubrisku malah meninggalkanku lalu menggerutu.  entah apa yang ia katakan. Tidak jelas bagiku saat itu yang masih sangat kaget.
aku ke tempat terakhir untuk membeli jam. Karena jam dindingku rusak beberapa hari yang lalu. Di tempat jam itu aku bertemu lagi dengannya. Aku sedikit segan karena kejadian tadi. Aku  dan dia bersamaan menyuruh mengambilkan barang yang akan kami beli.
“duluan aja mbak!” katanya lalu membuang pandangannya
“ga’ papa pak duluan aja” kataku menolak berharap ia sedikit tersentuh dengan sikapku
“kenapas sih ribet banget” geramnya. Aku hanya tersenyum mencoba menyikapi bahwa hal seperti ini tak boleh di masukkan ke dalam hati.
“itu mbak yang warna merah” katany sembari menunjuk. Sementara, Mataku mengikuti telunjuknya. Jam yang ia pesan bergambar salib. Yang dihiasi gambar lelaki berjenggot. agama nasrani percayai bahwa itu adalah yesus. Aku terseyum mencoba menikmati kejadian ini. Aku menanggup  kedua tangan di depan dada mencoba menerima sikap bapak yang baru kutemui ini. Sekarang giliranku menunjuk jam yang kuinginkan.
“yang warna putih ya mbak” kataku pada penjaga toko itu
Saat kutunjuk jam berwarna putih dengan gambar kaligrafi yang berlafaskan Allah ia pun melihatku. Aku menoleh dan tersenyum. Lagi-lagi ia membuang pandangan. Tak banyak berfikir, segera kubayar lalu meninggalkan tempat itu.  beberapa menit saat kutinggal tempat penjualan jam itu ia mengikutiku sedari tadi sambil memegang lembaran dan sebuah pulpen.
“Hei” menyodorkan kertas kecil  lalu meninggalkanku. tak sempat bertanya apapun ia berbalik meninggalkanku. kumasukkan kertas kecil itu ke dalam dompet untuk kubaca  di rumah saja.

***

Esok harinya setelah terbangun dari tiudr dan selesai melaksanakan shalat subuh, barula ingatanku tyertuju pada kertas kecil pemberian bapak itu. kuraih dompetku kubuka perlahan “andai saja ayah ibumu bukan islam, apakah kau islam? Pernakah kau berfikir bahwa agamamu sudah benar” sesingkat itulah yang tertulis di kertas. Aku sedikit berfikir dan mencoba menghayati pertanyaan tui. Ternyata akulah manusia yang terbodoh yang tak bisa menjawab pertanyaan semacam ini. Perasaanku sesak ada yang ingin kusampaikan namun hatiku sendiri melarang untuk menjawab dengan rasa. Karena Allah pun menyuruh manusia untuk berfikir,

“Katakanlah, ‘Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah swt menciptakan (manusia) dari permulaannya’.”(Qs. al-‘AnkabÅ«t [29]: 20).

Aku merasa ibarat manusia yang yakin pada sesorang hanya dengan mendengar cerita dari mulut ke mulut. Aku tak mencari kebenarannya sendiri. Maka pantaslah aku dikatakan “instan” bersujud, menangis, meminta tapi tak pernah berusaha mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk mengetahui Tuhan. Saat itu aku menangis, menangisi kebodohanku.
Dan malam ini mataku tak kunjung terpejam karena ada sesuatu yang tak dapat kuungkapkan meski sebuah kalimat pendek. 

aku jatuh cinta



Setelah lebaran idul adha kemarin, aku mengira semangat dan kekuatanku akan pulih. Tapi perkiraanku meleset. Sehari setelah lebaran tugas kuliah telah menungguku untuk dipresentasikan di depan kelas. Sungguh aku belum menguasai buku yang sepekan lalu kupinjam di perustakaan. Aku serasa ingin tidur saja. aku melawan. mencoba bangkit dari pembaringan dan buru-buru ke kamar mandi lalu menyiapkan pakaian yang akan kukenakan ke kampus.
Saat bercermin, mencoba merapikan  jibab yang kukenakan, teman sebelah kamar datang untuk menyetrika bajunya. Ia bertanya tentang keadaanku. Aku hanya menjawab sekenanya saja “aku jenuh” ia tak mengeluarkan sesuatu apa pun dari mulutnya kecuali senyum kecut yang tak dapat  terkatakan. Ia tahu kalau jawabanku seperti ini berarti perasaanku lagi tak enak.
Berjalan dari lorong ke lorong di bawah sengat matahari yang luar biasa membuatku tak henti-hentinya menutupi wajah dengan sapu tangan buatan ibuku di kampung. Ukurannya kecil cukup menutupi wajahku dari sengatan matahari dan debu. “simpan baik-baik sapu tangan ini. Anak perempuan harus selalu bawa sapu tangan agar selalu bersih” ini yang dikatakan ibuku saat menjahit sisa kain bajunya.
Aku memilih naik bus Trans. Setelah menunggu 30 menit, akhirnya bus berwarna kuning hijau yag mirip mesjid kebanyakan di indonesia sudah terlihat dari kejauhan lalu mendekat perlahan. Aku tak tahu apa filosofi pemilihan warna Trans ini. Kadang aku bertanya dalam  hati tapi tak pernah kukeluarkan  Karena ini juga tak penting untuk ditanyakan.
Di atas bus beberapa halaman buku kuhabiskan. Tapi perasaanku tak kenyang karena banyak gangguan. Di atas bus aku merasa sedari tadi ada yang melihatku. Kucoba fokus pada lembaran-lembaran dihadapanku tapi tetap saja sama. Aku melihat huruf huruf yang kubaca pecah, berantakan dan terhambur jauh ke sudut-sudut bus. Susah untuk dipungut. Kututup buku yang berjudul “pemikiran harun Nasution” itu lalu berujar “kena kamu, siapa yang dari tadi memperhatikanku “ kataku lalu melirik orang-orang yang duduk di sudut bus. Tapi ternyata tak ada satupun padangan tertuju padaku. Semuanya asyik dengan Hpnya. Aku tertawa kecil dalam hati “ginilah kalau selalu GR”
30 menit lebih beberapa detiklah, aku sampai di kampus. Setibanya di kampus, tiba-tiba saja ada yang berbisik “ga usah masuk! Mata kuliahnya ga’ susah ko’. Tinggal belajar dikit di rumah udah bisa ikut ujian” ini bisikan dari siapa yah??? Yah tiada lain dan tiada duanya pasti namanya Say alias syetan. Aku sempat melihat gedung yang akan kunaki menuju lantai 4. Ada sedikit rasa untuk mengikuti anjuran si Say. Tapi ah....... aku kuat ternyata. Aku tidak mau membuang percuma uang 3000 yang kugunakan naik bus. Kulangkahkan kakiku dengan pasti dan mencoba melawan syetan-syetan yang menghadangku bak artis yang dikerumuni wartawan “plak..plok..” kutabok syetan-syetan itu dan akhirnya aku berhasil duduk di kelas, memperhatikan dosen dengan khusyuk dan terpenting aku berhasil membantu dosen menjelaskan semua yang telah disampaikan menit pertama karena banyak teman yang telat datang.
          Setelah kuliah aku mendapat panggilan masak oleh temanku yang dapat daging kurban. Cepat-cepat kuraih tasku lalu menuju tempat itu. hit...hit...hit masakan pun jadi. Setelah makan aku segera pulang untuk menyelesaikan tugas esok hari.
          Melewati lorong kecil itu lagi, bedanya tadi siang panas sekarang gelap. Maklum sudah pukul 10 malam.
          Kucari kunci kamar yang kusematkan di dalam tas ranselku entah berapa lama aku mencarinya hingga kejengkelanpun datang menghampiri. Entah setan apa yang selalu menggodaku untuk marah belakangan ini. Jika tidak marah aku pasti diam penuh curiga. Aku merasa jenuh tapi tak tahu jenuhnya karena apa.  
          Kuletakkan ranselku lalu membersihkan badan kemudian mematikan lampu. Sebelum tidur aku memiliki kegiatan rutin yaitu menulis sedikit dari perjalananku sehari full. Baru beberapa paragraf, aku teringat dengan akun facebook yang seharian tidak kubuka. Kualihkan perhatianku dengan membuka akun facebook dan tulisanku pun kuhentikan sampai pada cerita tentang perasaanku tadi siang  di atas bus.
          Setelah mengetik kata sandi Fbku, terlihat sudut atas pada pesan masuk angka 12 berarti ada pesan yang masuk sebanyak itu. kucoba menahan untuk tidak membukanya. Yah..... itung-itung buat surprise supaya hati terhibur dikit. Setelah melihat pemberitahuan dan membaca status alay teman-teman, pelan-pelan kubuka pesan-pesan yang segar untuk dipanen itu. Ibarat buah, pesan yang terlihat 12 itu bagai buah apel yang segar siap untuk lahab.


“yang terlihat di sana, meski jauh namun dekat. Engkau yang selalu terlihat namun tak bisa kudekati. Aku tak bisa berkata apapun, ibarat gembok, mulutku terkunci tiap melihatmu. Di balik kaca ini kulihat wajahmu menahan rindu. Entah pada siapa engkau merindu. Tapi aku tak peduli engkau tetap terbaik yang kulihat dari balik kaca ini. Aku tahu, tiap kau ada di bus lalu membawa buku bacaan yang banyak, pasti engkau ada masalah.

 Memang sudah lama engkau tak terlihat di balik kaca ini. dan kupastikan kamu dalam keadaan sedih.
Hay... kamu yang bernama Andi yang terkungkung dalam adat yang tak pasti jangan pernah sedih karena engkau adalah semangat buat yang lain. Aku selalu melihatmu di balik kaca di atas bus agar tak sedikit pun engkau merasa aku melihatmu. Engkau wanita dan aku lelaki. Tuhan telah berjanji menciptakan kita untuk saling mengenal hanya saja aku  menunggu waktu itu”

          Mataku sedikit memerah membaca pesan singkat yang entah dari mana datangnya. Aku tersentuh bahwa selain Tuhan ada manusia yang tahu tentang keadaanku. Jenuhku ibarat pasir yang terseret ombak, menggulungnya lalu melepasnya. Aku kembali semangat dan berjanji bahwa jenuh ini tak akan kuundang lagi.
          Aku sadar bahwa Tuhan akan memberiku teman untuk menemani tiap kejenuhanku. Malam ini aku jatuh cinta. Meski sedikit seperti orang gila “jatuh cinta pada sebuah tulisan yang mungkin saja nyasar ”

                                                          Jogja 16 oktober 2013 19:00