Sulawesiku sayang, Sulawesiku malang

            Sudah beberapa hari ini aku terganggu, bukan sedikit tapi banyak. Telingaku penuh dengan ocehan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Sudah lebih setahun aku hidup di perantauan. Bersama orang-orang dari berbagai suku. Susah mencari teman. Mungkin harus lebih bersabar menanti orang yang ingin berteman denganku. Ternyata sebenarnya bukan itu, tidak, tidak karena itu. melainkan memang aku dijauhi. Setiap hari pulang pergi kampus sendiri. Kalau pun dapat teman, hanya bertahan ¼ minggu.
            “Memang orang-orang di sini kalau ada saja maunya lalu deket-deket” kata salah satu temanku yang dari luar pulau jawa. Aku tak begitu percaya karena didikan dari orang tuaku bahwa kita tak pernah tahu sifat seseorang sebelum berada di dekatnya ditambah pesan dari dosenku yang mengatakan bahwa mengapa ada rasa benci dan buruk sangka, karena mengetahui kesalahan dan kekurangan orang atau kelompok hanya dari mulutu kemulut tanpa pernah mencari tahu sebenarnya.
            Memang tak mudah mencari teman yang sesuai prinsp hidup kita. Apalagi jika berada di tempat yang jauh dari tempat kita dibesarkan.
            Tapi aku kadang bertanya, setelah kejadian beberapa waktu lalu tentang keberadaanku. Aku berfikir, mengapa Tuhan menciptakanku di tengah-tengah suku bugis. Apa rahasia Tuhan. Dulu aku merasa argumenku tentang adat dan kelebihan suku adalah suatu kebanggaan. Tapi entah mengapa beberapa hari ini kebanggan itu berubah menjadi tanda tanda tanya besar dalam benakku “Benarkah kebanggaan ini? Mengapa aku harus tercipta dari sebuah golongan masyarakat yang kental dengan adatnya? Mengapa aku tidak terlahir dari keluarga perkotaan yang hidup  netral tanpa ada sekat-sekat?” huffft... kucoba menyekah peluh yang kurasa tak begitu banyak dijidatku.
            Siang itu hujan sangat lebat. Aku tak bawa payung. Kufikir lebih baik naik bus saja. lebih nyaman dan tidak perlu berdesak-desakan. Kakiku melangkah saat bus berwarna hijau itu tepat berhenti di depanku. Aku duduk dengan gesitnya takut jika nanti bus menancap gas dan aku akan terlempar. Di sini para supir tidak seperti kebanyakan daerah, seakan jalan raya milik sendiri orang lain Cuma numpang lewat.
***
            Malam itu perut menegurku yang sedang asyik duduk di depan laptop hijau murah milikku. Aku meyambar jilbab yang tergantung di belakang pintu kamar. Kulangkankan kakiku segera mungkin bersama teman sekontrakan. Sambil bejalan perlahan, kubuka dompetku. Ternyata isinya tinggal 2000. aku beralih ke atm tersekat. Kuambil sekenanya saja karena isinya memang tak begitu banyak. Saat kakiku melangkah keluar ATM, wajahku tepat tertuju pada seorang lelaki yng kuperkirakan umurnya 50-an. Tak perlu tersenyum dalam keadaan seperti ini, karena wajah bapak itu sepertinya tak membutuhkan senyumku dan perutku pun tak cukup kuat memberi energi pada wajahku untuk membentuk senyum.
            “eh.. di manaki makan?” tanyaku pada teman
          “kita saja maunya di mana” jawab temanku yang wajahnya juga pusat pasih karena kelaparan. Heheh rasanya aku ingin ngakak jika lihat wajahnya. Aku berfikir, kami berdua tengah malam seperti ini mencari makan seertinya lucu saja sih. Katanya wanta tapi kalau soal makan, ga’ kalah tuh sama lelaki.
         “orang makassar ya?” tanya bapak yang berambut putih itu. menyapa dengan wajah yang sangat pahit, sampai-sampai aku tak bisa membedakan mana kopi mana wajah bapak itu. sumpah wajahnya buat jengkel.
            “iyya pak” kami bersamaan menjawab.
            “pantasan” celetusnya sambil memutar biji matanya yang saya tahu bin yakin kalau ia tidak suka dengan orang-orang sulawesi
            “kenapa pak?” pertnayaan yang kuyakini adalah awal dari perdebatanku.
            “di sana kan orang-orangnya kasar, suka buat kerusuhan, mana otaknya pas-pasan lagi” tuhaan.. darahku seketika mendidi, Meski hal ini selalu kudengar. Aku mendekati motornya sambil terus menatap matanya. Jika di dunia ini ada     lomba orang terjelek dan bebal, maka bapak ini yang akan menjadi juaranya.
           “maaf ya... tidak semua lo” fikirku jika reaksiku brutal maka ia lebih yakin lagi          dengan apa yang ia katakan tadi.
            “yuk kita pulang” sambil menarik tangan temanku yang hanya melihat ke arahku dari tadi.
            “mari pak” kata terakhir untuk meyakinkan kalau kami tak sejelak yang ia katakan. Bapak itu tak menjawab giginya hanya terlihat. Tapi bukan karena senyum tapi cengengesan yang dibuatnya untuk menghibur diri karena kami tidak terpancing untuk orasi di depan ATM itu... yuuuu demo kali
            “heehhe andai saja saya bawa spidol dan kertas, sudah dari tadi tuh” celotehku
            “ngapain?” tanya temanku “dari tadi curhat di kertas” heheheh kami pun berjalan santai seolah-olah malam itu adalah pagi hari.
***
            Lorong yang kami lewati terlihat sepi. Tidak seperti tadi saat kami berjalan ke ATM. Lorong yang hanya memakai lampu 15 watt itu terlihat seram. Aku hanya berharap di depan sana tidak ada preman-preman yang menggangu. Aku dan temanku mencoba menutupi rasa takut. Sembaranglah kami kerjakan. Tertawa bahkan cerita membahas tentang diriku yang kemarin dikejar-kejar orang gila. Namun takut lebih besar ketimbang cerita-cerita lucu yang kami rangkai. Akhirnya kami pun berlari seperti anak kecil yang ketakutan suster ngesot.
            “mau ke mana?” seorang muncul dari balik tiang listrik. kami saling berpegangan. Menyusul lagi dua temannya. Mereka bertiga sekarang. Wajahnya sangar, mirip yang di TV-TV itu. mataku mulai berkaca-kaca takut jika dia berniat buruk ke kepada kami berdua. Laki-laki yang berambut panjang yang keliatannya bau itu mendekatiku. Terlihat jelas tatto-tatto yang bertegker di lengan kanannya. Gambar burung hantu. Yah... tatto dan wajahnya beda-beda tipislah.
            “mau apa? Awas jangan mendekat” ancamku dengan mulut terbata-bata. Sambil memegang tangan temanku yang dinginnya seperti es batu. Dia sangat takut. Dia memang orangnya penakut.
            “jangan takut, kamu dibelakangku” kucoba menenagkannya. Lelaki itu mendekatiku dan ingin menyentuh wajahku.  Kutepis tangannya lalu menabok lengan besarnya itu. aku tak takut jika sudah berani menyentuh. Kodorong badan besar bak kudanil itu. ia sedikit terjatuh meski tidak sampai ke tanah. Segera kutarik tangan temanku membawanya berlari. Para pereman itu mengejar kami. Sungguh, tak satu pun ada yang melihat kejadian ini. Aku berhenti untuk mencegah preman itu dan menyuruh temanku berlari
            “tapi, kamu?” ragu untuk meninggalkanku
         “jangan tapi-tapian, lari saja!” teriakku. Preman itu memegang tanganku,     membuatku sedikit pun tak bisa bergerak. Salah satu dari mereka menamparku. “Seperti ini ni orang sulawesi. Perempuanya sok kuat dan jual mahal. Mau melawan?” dilayangkannya tamparan lagi. Terasa ada sedikit darah yang keluar dari telingaku. Aku hanya diam tidak berani lagi berkata- kata. “Aku benci orang-orang sulawesi” berteriak di dekat telingaku wajahnya seperti menaru dendam. “bawa dia” perintah lelaki bertubuh besar itu kepada kedua temannya. Oh bukan, Tepatnya adalah anak buah. ia membawaku pergi.
            Semburat akar terlihat di langit hitam. Petir tiba-tiba datang. Dan  tak lama lagi huja turun. aku sendiri di tangan tiga lelaki preman. Entah apa yang ingin ia lakukan padaku. Aku di masukka ke dalam gudang. Di sana aku diikat. mereka memulai introgasinya.
            “kamu orang sulawesi kan?” masih dengan nada biasa.
            “iya” jawabku tenang. Aku pasrah
            “kamu wanita bugis, yang sukanya jual mahal. Orang tuanya tak tahu malu. Iya kan? Ha!!!” Lelaki jelek yang di tangannya penuh tatto itu memegang lenganku. Tampaknya ia sangat marah. Aku hanya terdiam.
            “karena wanita bugis aku seperti ini. Karena budayamu aku seperti ini. Tau tidak? ha!!!!” meletakkan jari telunjuknya di dahiku. Aku gemetar. Aku takut mati. Lelaki yang ada di depanku tiba tertunduk lemas. Lalu terkulai ke lantai.
            “karena budaya bugislah kekasihku tak menjadi pendampingku. Ia menikah dengan lelaki lain. Dan aku hidup sendiri seperti sampah. Aku hanya ingin dia. Tapi mengapa cintaku tak sampai hanya karena uang. Kenapa? Kenapa? Kenapaaaaaaaaaaa?” sambil memukul-mukul lantai. Aku tersadar bahwa lelaki yang ada di hadapanku ini terkena CINTA TERTOLAK KARENA DO’I PANAI. Aku terbawa suasana. Titik air keluar dari mataku. Aku kasian melihat keadaan lelaki itu. ke dua temannya menariknya untuk bangkit. wajah premannya hilang seketika. Kulihat ia mengatur nafasnya untuk bangkit. Matanya terlihat merah. Tak kusangka ia mengeluarkan pisau dari belakang bajunya.
            “Aku akan membalas dendamku ini kepadamu” memainkan pisau itu di wajahku. Aku gemetar sekujur tubuhku dingin. Pisau yang ada di wajahku pelan-pelan dibawanya ke belakang. “sruuuuuuuuuttt” kurasakan benda tajam menusuk bahuku. Kurasakan ada cairan yang keluar, bahkan sempat terlihat jelas cairan itu. warnanya merah. Yah.... benar itu darah. Mataku berkunang-kunang hingga akhirnya tak dapat melihat apapun kecuali gelap. Aku sudah mati.
            Aku terkejut saat terbangun, segera kutepis hordenku. Cahaya di luar sana sudah sangat terang. Yah.. lagi-lagi aku terlambat shalat subuh. aku berlari ke WC mengambil air wudu dan segera shalat subuh. Jika mencari orang yang sukanya telat, jangan jauh-jauh sayalah ratunya. Semuanya serba lamban. Maka dari itu rata-rata baju yang saya beli adalah baju yang tiak menggunakan kancing. Bila dihitung, satu kancing aku biasa mengaitkannya semenit. Hitung saja jika sepuluh kancing!. Itulah analoginya.
            Aku bersandar di dinding kamar, memutar-mutar otak mencoba mengingat mimpi buruk itu lagi. Aku tahu mengapa aku mimpi seburuk itu, pasti karena semalam ketemu sama bapak tua di ATM dan menghabiskan malamku membaca berita tentang pembacokan di daerahku yang disebabkan hanya karena uang panai’nya kurang (uang belanja pada acara pernikahan bugis-makassar). Ditambah pertanyaan dosenku beberapa hari yang lalu “Mengapa orang sulawesi itu sukanya demo? Mengapa lebih mengutamakan pukulan ketimbang berbicara degan kepala dingin?” mendengar itu, aku tersenyum untuk mengendalikan suasana. Dengan sedikit senyum dipaksakan aku mencoaba menjwab “Budaya sulawesi teutama bugis-makassar it mengutamakan tak banyak bicara pak. orangnya tegas loh pak. Kami lebih baik berbicara di depan ketimbang di belakang. itu sudah harga mati” sedikit bercanda. ia melanjutkan dengan “makassar yang saya kenal adalah daerah yang paling kurang memegang agama selain islam tapi ko’ seperti itu?” sambil memukul meja. Aku hanya diam malas mereponnya. Toh susah ia pahami. Diam saja mungkin leih baik pikirk. Sepertinya jika aku melihat dosen ini dia mempunyai dendam. Dari wajahnya ia menyimpan masa lalu pada orang sulawesi. Aha setelah kuselediki betul sekali apa yang tersirat dan tersurat dalam benakku. Ia pernah terkhinati oleh wanita bugis. Yah... lebih tepatnya kalau zaman sekarang MAPALA (mama papa melarang). Menurut cek and ricek kampus, ayah dari perempuan tersebut melarang memilih calon suami dari daerah lain. Yah............. duh... miris juga yah...?
            Sekarang aku ingin berbagi pilu sebagai wanita bugis. apalagi dengan nama Al bugisy. Tak banyak yang suka denganku sewaktu menjadi MABA. Aku katanya terlihat arogan dan sok pintar. Yah... ukuran sulawesilah. Aku rasanya ingin menggigit orang-orang yang selalu melihatku dari sisi buruk wanita bugis. padahal apa bedanya wanita bugis dengan yang lain. Aku merasa perbedaan budaya, agama, dan suku bukanlah hal yang aneh, karena dalam perjalanan ini kata Tuhan, hanya Takwa yang membedakan kita.
            Memang aku akui bahwa ada tradisi sulawesi-selatan yang susah orang lain terima. Yaitu Do’i panai. Wacana ini sering kali jadi pembahasan banyak kalangan. Mulai dari kaula muda sampai kaula Tua. Sebanarnya suatu adat atau tradisi, jangan selalu melihat dari sisi negatifnya. Taka ada satu suku pun di dunia ini yang sempurna. Di manapun Tuhan menitipkan kita, itu adalah sebuah hadiah. Urung niatku meninggalkan budaya yang telah membesarkan menjadi seorang wanita yang lebih yakin pada panngadareng. Panngadareng adalah wujud kebudayaan Sulawesi Selatan yang menjelma menjadi Siri’. Kemudian dengan siri’ itu seseorang membawa dirinya berinteraksi dengan sesamanya. Nah... dalam interaksi dan kebersamaan itulah menjelmalah menjadi pesse atau pacce.
            Berbicara mengenai do’i panai yang menjadi tema hangat di kala hujan bagi pria-pria. Bukanlah hal tabu untuk selalu kita dengar. Namun, saya sebagai pencetus wanita bugis ingin mengeluarkan argumen. Sebuah ungkapan hati dengan beberapa refrensi tentang sejarah sulawesi selatan. Begini, beberapa hari yang lalu saya sempat membaca tulisan di salah satu teman yang mengatakan seperti ini “Mending dengan uang belanja 5 Juta atau 10 juta, tapi keturunan yang dihasilkan adalah PARA PENGHAFAL ALQUR'AN DAN ULAMA-ULAMA CALON PEMIMPIN UMAT MASA DEPAN !!!!” saya menggaris bawahi kata mending dan tanda seru yang berderatan sebanyak 4. Kata mending adalah kata perbandingan. itu berarti adalah pilihan. Pilihan yang tepat.
            Tak mengapalah jika 5 juta atau 10 juta menjadi persoalan, tapi di sini aku mencoba membahas adat istiadat yang dilihat dari kaca mata budaya, bukan agama. Jika kita memakai kaca mata agama, maka hal ini sulit kita terima. Namun Tuhan telah menganugrahi kita akal untuk mencari dan menyeimbangkan antara agama dan budaya. Dan aku merasa selama budaya tak menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Whay not? Tak ada masalah.
            Ini yang menjadi kekeliruan lelaki yang selalu menganggap bahwa uang panai’ itu takkala bunuma deh. Padahal harus kita tahu mengapa uang yang digunakan seorang lelaki untuk menyunting wanita-wanita bugis itu sangat tinggi, itu dipengaruhi oleh sejarah. Di sulawesi selatan ada tiga kabupaten yang terkenal yaitu Gowa, Bone, Wajo. Dari ketiga kabupaten ini masing-masing mempunyai keahlian dalam bidang ekomomi. Sinjai yang terkenal dengan keahlianya dalam membuat perahu. Wajo dengan jiwa dagangnya dan Bone yang ahli dalam bidang bercocok tanam. Dari ketiga kabupaten ini sulawesi selatan terkenal dengan kemakmuran perekonomiannya. Meski pernah mundur pada Abad XVII. Nah...... setelah saya mendongeng, kita bisa memetik sebuah kesimpulan bahwa sanya orang-orang sulawesi terdahulu memang memiliki banyak uang.
            Trus ada lagi ni yang nanya, “Jadi di sulawesi itu banyak perempuan yang perawan tua ya?” duh... gubrak deh jika bahasnnya perawan tua.
            “Tidak juga. Karena di Sulawesi lelakinya tangguh. Jika dia mencintai wanita yang ia inginkan maka ia akan berjuang sekuat tenaga” jawabku. “Hehehe meski ada ada juga sih pake uang orang tua” bisikku dalam hati.
            Terakhir, semuanya kembali pada masing-masing prinsip. Namun satu hal yang harus kita tahu bahwa tak baik jika selalu melihat golongan yang paling baik adalah yang kita yakini. Cobalah membuka hati dan mata bahwa perbedaan adalah Rahmat.
            Terkhusus untuk para lelaki Bugines...
            Tuhan tidak akan memberikan ujian melewati batas kemampuan hambanya. Kita di ciptakan terlahir dari daerah yang sangat kontroversi karena Tuhan tahu lelaki bugis kuat dan pantang menyerah. Nama saja pelaut. Hehehheh popoye kaleee. Meski banyak yang memutar haluan untuk memilih wanita yang memudahkannya.
So, Pilihan ada di tangan Anda...
            Ettttttts... ada lagi, tidak semua loh yang dikatakan orang tentang do’i panaik itu benar. Menakuti-nakuti orang lain dengan matematika (10+20+30+40+50 dan seterusnya) cobalah datang dengan keikhlasan dan keyakinan penuh pada Tuhan ke rumah wanita idaman anda. Bernegosiasilah! Karena sebenarnya hati orang-orang sulawesi itu lembut namun terbungkus dengan ketegasan wajahnya.

“setelah aku dewasa dan sadar pada semua takdir Tuhan, rasanya tak mudah untuk meninggalkan budaya yang telah membawaku pada hari ini. Hari dimana aku tersadar bahwa orang tuaku yang terlahir dari suku bugis bahkan mati  pun akan tetap di sana adalah kekuatanku untuk terus menjadi muslim yang selalu menghargai perbedaan. Met bobo Bunda... semoga bunda disayang Allah”



2 komentar:

  Unknown

16 November 2013 pukul 19.25

nice (y) ....

  Dunia Komputer

17 Agustus 2014 pukul 10.44

Wkwkwk peddi2 ceritana tp lucu to :v :D