perjalanan ini.......

Dari balik jendela kamarku, kuteringat dengan 18 tahun lalu. Di mana saat itu ayah pergi meniggalku. Meninggalkanku dalam keadaan menangis berharap dekapan orang tua menghangatkan tubuh. Setelah ibu dan ayah bercerai, sebuah hidup yang tak kunginkan merapat meremukkan badan. Di usiaku yang masih kecil, tahu apa diriku tentang kasih sayang, tahu apa tentang cinta tahu apa tentang rindu. Masih teringat saat tawaku berubah menjadi tangis saat orang-orang yang kucintai pergi. Ayah pergi karena hidup pada bayang-bayang masa lalu. Dan ibu pergi karena sakit yang berkepanjangan. Aku pun mengubah prinsip menjadi “JANGAN SALAHKAN YANG NAMPAK”. Hari-hari berlalu, umurku kini sudah 20. Menandakan 18 tahun aku hidup sendiri. Hidup dalam bayang-bayang orang-oarang yang pergi. Sakit? Bukan sakit lagi. Tapi hancur. Aku butuh mereka. dari mereka darahku bisa mengalir. Tapi, apakah harus kusalahkan mereka? “TIDAK” karena sebenarnya ini takdirku. Takdir yang harus kujalani. Di kamar kecilku ini, aku menangis, aku merontah ketika rindu pada mereka menghujam hati. Namun, kesadaran yang kudapatkan di pesantren sudah lebih dari cukup untuk menahan rasa ini. Disini, di kota pendidikan, kucari siapa diriku. Kuliah walau sebenarnya harapanku hanya satu, yaitu kakak melalui cara Allah. Di besarkan dai belaian seorang nenek. Bukan suatu keberuntungan, namun sebuah pembiasaan. Hidup penuh derita dan aku tak ingin ini berkepanjangan. Satu yang kumau “berjuang”. Suatu ketika salah satu keluarga menyuruhku berhenti sekolah dan tinggal di rumah saja membuatku marah. Inilah yang membakar hati dan fikiran, inilah awal mula kutekadkan hati untuk menimbah ilmu agar menjadi pegangan saat dunia menyiarkan kehidupan yang luar biasa yaitu pergaulan bebas. Bukan hal sulit bagiku kuliah. Karena meski kekurangan uang aku masih kuliah. Meski pun semuanya selalu di bayar terlambat. Aku masih ingat saat aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri “inilah hasil keringatku yang dapat membalasankan dendamku terhadap cercaan orang-orang semasa kecil” ujarku tatkala keberhasilan serasa di depan mata. apalagi saat prestasi dan pujian selalu kudapatkan di kampus. Sungguh membuatku ada di awang-awang. Meski hatiku kadang merintih karena semua ini tidak sesuai dengan hati nuraniku tapi, ketika mengingat semua cercaan orang, serasa nurani ini berubah menjadi logika. Aku juga masih ingat saat seorang guru ingin meminangku, hati nuraniku tersentuh, namun melihat keadaanku. Aku bertanya lagi “apakah menikah akan memperbaiki kehiudpanku” tidak. tepisku. Kutolak pinangan itu. karena aku yakin jika aku sekolah dan berprestasi siapa saja akan mau padaku. Apalagi jika teringat pernikahan tanteku yang judes itu. saya berjanji ingin menyainginya. Memperlihatkan bahwa hidupku bisa lebih baik. Maka kuputuskan untuk pergi meninggalkan kampung halaman. semangat kuliahku sungguh luar biasa. Semua orang mengenal siapa saya. Saya yang selalu di kenal kristis dan berani pada semua dosen yang tidak sependapat denganku. Aku mendapat beasiswa. Teman-teman selalu mendekatiku. Sungguh prestasi gemilang. Hari-hariku semangat karena tujuan hidup yaitu sukses mengangkat nama ibu dan namaku di hadapan orang-orang sejengkal lagi. Di pertengahan kuliah, seseorang datang menyapa. Menyentuh hatiku pelan-pelan lalu mengajakku menikah. Aku merasa ini semua mimpi. Kucoba menimbang dan berfikir tentang dia. Ternyata kudapatkan jawabannya bahwa inilah do’a yang selama ini kupanjatkan. Tapi, tak seindah yang kubayangkan. Suatu malam aku dengannya chating. berpedaan itu nampak. Aku terjepit antara cinta dan budaya. “apakah ada adat penting dalam sebuah pernikahan?”tanyanya “kalau aku tidak. Tapi…………..” aku terhenti saat mengingat ibu yang selama ini ingin kubanggakan. Setidaknya orang lain bisa melihat kalau salah satu dari anaknya bisa menikah dengn meriah. “ya tapi kan bukan hanya kita ..tapi dua keluarga yang berbeda menurut ade'ta (adat kita) yang mau memakai adat yang tujuannya hanya untuk sebuah pengakuan manusia” balasnya “ adatnya sederhana saja. Pakaian pun insya Allah yang islami kapan lagi kita bisa memberi orang rasa bahagia yang kita rasakan” bantahku lagi “LAA THO'ATA LIMAHLUUKIN FII MA'SIYATIL KHAALIQ.....ini sebuah prinsip/Ushul.” Katanya menguatkan argumen. Sedikit kekawatiran mulai menyerang. Antara membahagiakan orang tua dan cinta. Semua yang dia sampaikan membuatku ingin menangis. Meski dia dari keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat sepertiku. Tapi, dia sudah berhasil pergi dari dari dunia semajam itu. Dia lelaki yang menjaga tiap tingkah lakunya sesuai al-qur’an dan hadit’s. jauh berbeda denganku yang mandang islam dalam bentuk harfianya saja. Dia selalu mengajarku tentang bagaimana memandang hidup itu. seiring waktu yang berjalan, aku mulai merasa sebuah cinta datang dengan niat yang baik. mengapa aku harus melewatkan semuanya. Ta’aruf itu kami mulai meski tak ada yang tahu. Memulai taaruf dengan sederhana saja. Saling mengenal sifat. Kami pun hanyut oleh keinginan menikah. Tapi ada yang ganjil bagiku. Yaitu akankah aku menikah dengan seorang lelaki yang betul-betul menjaga keislamannya yaitu sudah tak ikut pada adat dan kebiasaan orang-orang di keluargaku. Sungguh pilihan yang rumit. Memilih keluarga ataukah sebuah jalan bertaubat dan mendekat pada rabby. Melewati garis hidup yang likuh, membuatku bertanya sampai mana niat dan dendam ini akan kubawa sedang seorang lelaki telah datang padaku. Apakah menolak hanya karena dunia semata. Sungguh tak pantas aku menjadi hamba Allah. Setelah shalat ashar di kamar kecil. Kuraih Alquranku kemudian membacanya. aku mengakhiri bacaan karena syam menelfonku. Lama kami berbicara. Membahas masalah kelanjutan hubungan. Ketika dia bertanya lagi “maukah kau menerimahku sebagai suami” dengan nada yang serius. Tiba-tiba mulutku kaku untuk menjawabnya. Bibirku hanya gemetar. Rasa haru menyerangku. Aku merasa hidupku akan bahagia. Dan beban kakak yang membiayai pendidikanku bisa berakhir. Dan aku tak sendiri lagi menjalani hidup. Saat air mataku tak henti-hentinya jatuh, wajah ibu datang di butiran ait mata. terlihat jelas dia butuh aku. Butuh pengorbananku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku berharap tak ada sebuah luka saat kukatakan pada ibu kalau aku ingin menikah. Tak begitu lama aku berfikir, kuputuskan untuk menerimahnya. Kami saling mengenal satu sama lain. Seperti ta’aruf lainnya, kami membahas apa yang pelu kami bahas. Setelah cukup mengenalnya aku sadar. Hidupku ini masih terbilang cinta dunia. Aku terharu saat dia dan menegur pakaianku dan menyuruhku mengenakanjilbab panjang. Aku menangis. Bukan karena tegurannya, tapi aku teringat dengan ibu yang selalu menagatakan padaku “nak, pakain itu tak penting. yang jelas ada yang bisa kamu pakai, pakai saja. Karena uang kuliahmu lebih penting dari pada baju”. Sebenarnya sudah dari dulu ingin kukedahkan jilbab panjang. Namun, karena uangku hanya cukup membayar uang kuliah, maka kuputuskan memakai apa yang ada Selama masih dalam batas kewajaran. Kukatakan padanya yang sejujurnya. Bahwa tak akan kuminta uang pada ibu hanya sebuah pakaian. Aku yakin, suatu hari nanti aku bisa memakai jilbab panjang itu dengan hasil keingatku sendiri. Ibuku sudah menderita tak usah kubebani lagi. Mendengar alasanku dia berkata “hidupmu menderita”. Mendengar itu, tangisku meledak. Aku takut Allah. Jangan sampai hanya karena penderitaan dunia aku harus durhaka. *** Dengan menata kembali hati ini, kami pun menikah. Pernikahanku 100% berbeda dari yang kubayangkan. Dulu aku berharap dapat di saksikan oleh riban pasang mata tapi ternyata yang ada hanyalah syarat wajib nikah. Aku menunduk “Ya Allah inikah betuk cintamu padaku”. Disaksikan oleh kakak aku mengucup tangan suamiku. Aku menangis. Menagis karena Amanah Allah sudah di depan mata. dan aku tak sendiri lagi. Setelah menikah, ternyata keluargaku tak begitu dekat lagi denganku. Dengan alasan tak menghargai mereka sebagai keluarga. Menikah tanpa memakai adat mereka. Aku tak dapat mengelak. Aku teringat dengan pesan suamiku “meski orang tidak menyukai kita, tapi yang dijalani adalah perintah Allah dan Rasulullah kenapa kita harus takut”. Sungguh, aku sakit saat keluarga seakan tak menganggabku keluarga lagi. “ini hanya dunia” tenangku. Menjalani hidup jauh dari keluarga, setiap hari kuliah dan melayani suami membuatku makin sadar Allah mencintaiku. Memberiku suami yang subehanallah dalam mempertahankan aqidahnya. Setiap ada di samping suamiku. Kurasakan dia bukan hanya sekedar suami, tapi juga ayah. Sungguh benar janji Allah, aku bahagia bersamanya meski kadang ada sebuah perbedaan tapi, inilah yang membuatku makin cinta padanya. Dia selalu bisa membuatku sadar setiap masalah yang ada. Satu kata yang bisa kukatakan “AKU BAHAGIA”. Memilih dia sebagai suami. Suatu malam, dikamar kecil di rumah kami. Aku mendektinya dan berkata “aku mencintaimu”. Dia tersenyum. Kupegang tangannya lalu kukatakan lagi “jangan pernah meniggalkanku”. Dia hanya tersenyum. Saat kuisyaratkan keinginanku, dia tersenyum lagi lalu berkata “kita shalat sunnah dulu”. Kami shalat berjama’ah berharap Allah memberi berkah setiap apa yang kami lakukan. “Sungguh Allah mencintaiku. Mempertemukanku dengannya dan mengubah semua kehidupanku yang keliru tanpa kudari sedikit pun” ^-^Goresan cinta untuk lelaki pilihan Allah…..^-^