pelacur dan sepotong kenangan di kota itu...


            Aku butuh senyum, cinta, kasih sayang, dan perhatian. Aku sangat membutuhkan ini. Aku ingin membungkusnya menjadi sebuh kado paling indah untuknya. Wanita yang telah lama kukenal. Dia tak begitu dekat denganku, tetapi aku tahu dia orang baik yang terjebak dalam dunia yang tak semestinya.
            Gumuk-gumuk pasir di pesisir pantai di kota itu membuat selalu terpana.  Tapi tidak kali ini. Binatang-binatang pantai seolah menatapku sayu dan bergumam “Bagaimana kabarnya wanita yang pernah  kulihat di sini bersamamu?”  aku terdiam, terpekur.
“dunia ini tak semudah yang orang kaya’ bayangkan. Tak seindah ulama ceramakan, tak semudah penulis menceritakan. Jika dunia muda untuk dijalani, mengapa wanita itu pergi dan menghilang dariku. Wanita yang baik berubah menjadi jahat. Wanita yang pendiam tiba-tiba menjadi kasar, wanita yang tak pernah tersentuh, kini menjadi wanita sentuhan lelaki bejat yang tak punya malu. Menghamburkan uang hanya untuk tidur semalam dengan wanita yang dianggab dapat memuaskan nafsunya.”
            Tiba-tiba seorang lelaki menghampiriku, aku masih menunduk melihat air mataku yang terus berjatuhan di gumuk-gumuk pasir putih itu. lelaki itu tetap berada di sampingku, aku memperhatikan kakinya lalu menengadah untuk melihat wajahnya. Masih belum jelas di pandanganku. Kuusap mataku dan mengucek-ngucek 2, 3 kali. Kuperhatikan dengan seksama lelaki itu. dia memakai baju putih yang lengannya telah tersingsing. Memakai kopiah putih dan sedikit berjengkot tipis. Dia menguluran tangannya hendak mengajakku berdiri. Aku kembali menunduk. Aku tak peduli dengan ajakannya. Aku tidak butuh dengan dia. Yang aku butuhkan adalah wanita itu.
            Ia masih berada di dekatku. Asyik memadangi wajahku yang sebenarnya tidak menyenangkan untuk dipandang. “salamualaaiakum Alena” suaranya mengajakku untuk menoleh padanya. kulihat wajahnya lebih dekat lagi, ternyata dia adalah temanku semasa sekolahan. Sekarang dia sudah dewasa. Sorot matanya masih seperti dulu yang selalu melihatku penuh perhatian. Sekarang dia seorang ustad yang beta dengan hidupnya yang bagiku tidak mengasyikkan. Hanya tinggal dilingkungan sekolah. Setiap hari memakai sarung dan kopiah. Mengajarkan ilmu agama kepada orang-orang. bahkan perjumpaanku hari ini pun akan menjadi ladang pahala buatnya karena akan memberiku cerama atas keluhanku pada dunia. Ia duduk di sampingku dengan mengatur jarak.
            “kamu kenapa?, belum usaikah masalah-masalahmu yang dulu waktu kita sama-sama sekolah?” dia tersenyum sambil melihatku memandangi pantai yang terhempas deburan ombak. Sekrang posisi kami sama. Menghadap ke pantai sambil memeluk lutut. Suara burung cemara semelantunkan melodi membawa perbincanganku dengannya.
            “Aku butuh kasih sayang, cinta dan perhatian” seraya terus menatap deburan ombak.
            “oh... sangat klasik sekali kata-kata itu macam zaman Roma Irama saja” tertawa kecil
            “sungguhh, betapa tak mengertinya orang di sampingku ini” aku   menggelengkan kepala.
        “kenapa terlalu sibuk dengan dunia. Bukankah dunia ini hanya sementara” mendengar kata-katanya, aku sedikit berujar dalam diam emang dunia Cuma    24 jam.
            “bagimu keinginanku klasik, karena  yang kau lalui tak seperti wanita itu.  Bagimu kasih sayang itu tak penting untuk dibahas. Karena Al-qur’an cukup untuk menenangkan hati yang gunda. Kamu kebanyakan baca buku cerama dan mengikuti acara-acara motivator”
            “jangan bilang begitu. Nanti kamu berdosa” memotong pembicaraanku
            “kenapa aku berdosa? Ada yang salah dariku? Aku hanya mengutarakan apa  yang orang lain rasakan” aku mulai tersenyum dengan ombrolan ini, obrolan   yang tak ada jawabnya kemudian. Yakinku.
“kenapa kamu berubah? Tak yakinkah engkau pada Allah setelah kau sekolah jauh?”
           Aku berbalik melihatnya. Kini posisiku berubah. Aku melihat wajahnya. Wajah yang kutahu ingin menatapku juga. Tapi dari dulu dia tak berubah. Dia tidak mau saling bertatapan denganku. Katanya dia takut ada dosa di antara kami. Ini klasik bagiku. Entahla jika bukan aku wanita yang di dekatnya.
     “aku tidak berubah, masih seperti dulu. Masih berjalan dengan kitab yang aku yakini kebenarannya. Masih mengingat pesan Guru kita. Sini, dekatlah sedikit”  perintahku
            “aku tidak mau. Di sini saja” aku tahu dia tidak mungkin tergoda denganku
“ya sudah, aku ulang lagi pertanyaanku: dunia ini tak semudah yang orang kaya bayangkan. Tak seindah ulama ceramakan, tak semudah penulis menceritakan. Jika dunia muda untuk dijalani, mengapa wanita itu pergi dan menghilang dariku. Wanita yang baik yang berubah menjadi jahat. Wanita yang pendiam tiba-tiba menjadi kasar, wanita yang tak pernah tersentuh, kini menjadi wanita sentuhan lelaki bejat yang tak punya malu. Menghamburkan uang hanya untuk tidur semalam dengan wanita yang dianggab dapat memuaskan nafsunya. Mengapa?
           “kamu seakan tak punya iman saja. menagapa bertanya tentang hal sepele seperti ini. Yang jawabannya sangat singkat?” seperti inilah tanggapan lelaki yang paling terkenal kepintarannya waktu aku dengannya masih duduk di bangku sekolah.
            “mengapa?” suaraku tertelan ombak yang terus menghempas karang-karang yang kuat.  kuulang lagi dengan nada tinggi, “MENGAPA”? Lama kami terdiam usai teriakanku.
            “karena wanita itu tak punya iman. Andai dia punya iman yang kuat pasti dia   Bertahan dengan semua ujian yang Allah berikan. Tak mungkin dia berubah  menjadi jahat, pemarah bahkan menjadi pemuas nafsu lelaki” memulai kembali pembicaraan.
            “mudah sekali kita melewatinya dengan kata-kata iman” ujarku sambil mengaduk-   ngaduk pasir pantai yang ada di dekatku.
            “kamu ragu dengan kalimatku barusan?”
            “belum menjadi kalimat saja aku sudah ragu. Mau tahu kenapa? Bukan karena siapa-siapa dan apa-apa. Tetapi karena aku sendiri tak bisa menjawab pertanyaan wanita itu. wanita yang kukenal di sini. Di daerah ini untuk pertama kalinya.
            “dulu aku pernah mengatakan hal ini kepada wanita itu, tentang iman  yang kau katakan tadi. Tapi dengan marah seakan ingin memotong batang leherku, ia mengatakan, kamu berbicara iman karena kau sekolah di sekolah yang mengajarkan syurga-neraka. Sedangkan aku, aku tidak sekolah. Aku hanya tamat SD. Tak pernah tersentuh ajaran agama kita. Mau bilang aku tidak berusaha? Aku berusaha tapi aku tidak punya uang. bisa dikatakan aku anak jalanan. Setiap hari hanya mencari uang untuk mengisi perut. Kamu menyuruhku menutup aurat agar lelaki tak mengincarku? Pantaskah aku memakai jilbab sedangkan aku menjual diri?. Menyuruhku membaca al-qur’an? Pelajari hurufnya saja tak pernah. Hidup kita berbeda. Kesalahanku ini bukan dariku tapi orang tuaku yang tak pernah ada di dunia ini. Orang tuaku tak ada. mau salahkan siapa ketika aku tumbuh di jalan yang tidak benar. Sedangkan aku tak tak tahu saat itu bahwa kehidupanku hancur bila terus berada di jalan itu. sudahlah, memang jalan kita berbeda. tumbuh tampa dijamah lelaki adalah pilihan wanita  tapi bagaiman jika pilihan wanita untuk tumbuh adalah jamahan lelaki??? Bisakah kau jawab???. Tahu tidak, lidahku keluh mendengar semuanya. Aku tiba-tiba teringat denganmu yang tumbuh sebagai anak seorang ulama. Ayahmu penghafal al-qur’an dan ilmunya banyak. Pantaslah kamu dikatakan shaleh. Saudara perempuanmu dididik untuk menutup aurat dan mengaji. Tidak boleh pacaran hingga ada lelaki yang datang kepada ayahmu. Tapi wanita itu? masihkah kau menyalahkan dia karena keimanan?
                         Dan sekarang aku masih mencari jawabannya. Aku bersalah telah menyalahkannya. Bukan itu, bukan itu seharusnya yang kulakukan. Tetapi membantunya dengan uang. Agar bisa mengubah diri dan mencari iman melalui pendidikan. Karena tak ada yang gratis di dunia ini. Masihkah kau mengatakan dunia ini singkat? Jika singkat, aku mau berpuasa saja jika uangku tak ada. tinggal menunggu mati saja kan? tapi tidak, aku butuh uang untuk menunggu ajalku datang menjemput. Karena aku mau makan dan hidup.
Dia tertunduk mendengar semuanya. Dia tak menjawab. Aku berdiri,
“semoga perjumpaan kita kali ini bermanfaat. Titip salam buat ayahmu dan anaknya lelakinya yang sekarang sudah menjadi ustad” aku berbalik meninggalkannya.
“tunggu, katanya kamu butuh cinta, perhatian dan kasih sayang?” menahanku        meninggalkannya.
             “sudahlah... hal seperti itu hanya masalah klasik kan?. Aku membutuhkan hal itu, sebenarnya untuk kubagikan pada wanita itu. tapi tak kutemukan padamu. Kamu hanya mengandalkan imanmu namun tak peduli dengan orang lain. Sekarang, adalah perpisahan kita, aku sudah kehilangan wanita itu, dan aku juga mau kamu hilang dalam hidupku. Biarkan ilmu mempertemukan kita. Dan wanita itu biarlah jadi kenangan bagiku tiap ada di kota ini”
            Aku pun terus pergi meninggalkannya bersama butiran pasir dan binatang laut melepas       yang kepergianku.

“Suatu saat ilmu itu yang mempertemukan kita. Mencari ilmu sebanyak mungkin dengan mengetahui hakikat dari ilmu itu. iman tak segampang dan semudah yang kita lihat. Karena iman ada di dada. Mencarinya tak mudah. Butuh dunia untuk mengenalinya”.

Barru. Di laut yang tak pernah kulupakan itu