ibu banyak masalah...


Dasar penipu” teriak tante dari dalam rumah. Tante memaki saudaranya yang sudah tidak berdaya lagi. ditambah dengan sumpah serapa. aku terdiam. mulutku terkunci, sesak, sakit,marah dan sedih menyatu dalam hati. Ingin rasanya aku berdiri dan membantai semua orang-orang yang memaki malaikatku yang sudah tidak berdaya.
 Bagi keluargaku terutama saudara-saudara ibuku, ibu adalah seorang perampok. perampok kelas kakap tapi bagiku dia adalah wanita terindah yang allah berikan.
“Kamu itu memang wanita tidak punya malu. aku sebagai saudaramu sangat malu mempunyai saudara penjahat seperti kamu. Andai saja orang tidak melihat, maka dari kemarin kamu  sudah kulempar  ke luar dari rumah ini” teriak tanteku. Ibu hanya menangis. Air mata yang tidak pernah kulihat, kini tertumpah begitu deras dan terlihat jelas. Baju yang tampak kusam dan dekil basah, menambah aromah aneh pada tubuh ibu. Tidak  jarang orang yang melihat ibu mencibir dengan perkataan “ Beginilah kalau semasa sehat suka meresahkan banyak orang”  telingaku mulai panas.  Api amarah membakar jiwaku. Tak peduli lagi siapa yang ada di hadapanku. Aku berdiri mendekati tante yang sedari tadi mulutnya bak atom meledakkan telinga. Sekarang aku ada di hadapan tante yang sangat aku segani sejak kecil. Terlihat bola matanya yang terbakar oleh nafsu. Aku menghampirinya. kali ini tidak ada sedikit pun rasa takut. Wajah yang selama ini aku takuti dan hormati di mataku sekarang berubah menjadi monster yang jahat. Buat apa bersabar pada monster kataku  dalam hati. Kutarik nafas dalam-dalam, mencoba meninggikan suara.
 “Tante, tidak adakah rasa kasian untuk ibuku, sekarang ibuku sakit. tolong jangan menambah rasa sakit yang dia derita!”. Kataku menatap dalam-dalam matanya.
sejenak semua orang terdiam. sebuah tamparan melayak di pipiku. Tante menaparku
“Jangan bela ibumu. Kalau sudah salah, ya salah. Kembalikan uang yang ibumu curi dariku. Apa kamu bisa?” 
Aku terdiam. Sekujur tubuhku ngilu. aku tak berdaya. Badanku terkulai lemas dan jatuh tepat di kaki tanteku. Air mataku tumpah, segera kubersujud di kakinya “kumohon sudahlah, ibuku sudah tidak kuat lagi. Apakah tante tidak punya perasaan” kataku merintih. tanteku tidak menggubris permohonanku. Di ayungkannya tendangan yang membuatku nyaris jatuh terpelanting ke lantai. Semua orang hanya diam melihatku di perlakukan seperti itu.
sepertinya tanteku sudah puas memaki penjahat yang sudah menipunya. mataku mengikuti jejak langkahnya yang menghampiri ibu. “Apa lagi yang ingin dia lakukan” kataku dalam hati sambil mengusap air mata.
 “kamu memalukan keluarga” maki wanita itu kemudian berlalu meninggalkan ibu.
***
Aku teringat tentang ibu, ibu adalah wanita yang baik. dulu sebelum orang-orang membencinya dia adalah sosok wanita yang shaleha. Selalu membantu oarng-orang yang membutuhkan pertolongan. Dulu ibu adalah seorang pedagang yang sukses. Tokonya banyak dan besar-besar namun awal kehancurannya yaitu saat toko ibu yang paling sukses terbakar. Kemudian pindah ke tokonya yang lain namun inilah takdir Allah, tokonya terbakar lagi. hingga di akhir tahun ke 1980 semua harta ibu habis terbakar. Beberapa bulan ibu sakit karena kejadian itu. Namun dengan adanya suami yang setia dan shaleh, dia masih dapat bertahan. Hingga kembali sehat dan menjadi ibu rumah tangga biasa. Dan suaminya beralih profesi sebagai petani.
Tidak lama kemudian kebahagian ibu hilang, penderitaan ibu bertambah saat kehamilannya genab sembilan bulan, suaminya sakit dan akhirnya meninggal dunia sehari sebelum ibu melahirkan. Di sinilah puncak penderitaan ibu yang membuatnya depresi dan pergi meninggalkan anak-anaknya. pergi entah kemana dan tujuannya apa. Semua keluarga hanya bisa marah dan mencacinya tanpa pernah berfikir sedikit pun mengapa ibu melakukan hal seperti itu.
Ibu kabur dari rumah. Sudah beberapa hari ibu tidak pulang-pulang. paman dan tante-tanteku makin marah. pamanku yang paling tua perpikir untuk pergi mencari ibu. Sungguh diluar dugaan, paman mendapatkan ibu tidur di pinggir jalan. Paman menarik ibu dan memasukkannya kedalam mobil. Ibu hanya diam, pandangannya tak menentu. Hanya isak tangis yang menandakan dia sangat terluka. Sesampainya di rumah, ibu di lempar masuk kedalam rumah. Semua keluarga mendekati ibu dan memakinya.
 “kamu ini perempuan yang punya hati atau tidak? Mengapa tega-teganya kamu pergi meninggalkan anak-anakmu”. Bentak tanteku. Ibu hanya diam, kemudian berlalu meninggalkan semuanya. Dia berjalan tertatih menuju kamar. Pelan-pelan di bukanya pintu kamar dan duduk di samping anak-anaknya yang tertidur.
Pagi harinya, nenek terkejut saat melihat kamar ibu, yang di dapati hanyalah surat yang menyatakan ibu pergi. Setelah membaca surat,nenek langsung marah kepada semua ank-anaknya. Nenek kesal dengan perlakuan mereka yang menambah rasa sakit ibu. Nenek akhirnya pasrah melepas kepergian putri sulungnya yang sangat ia sayangi.
***
Beberapa tahun kemudian anak-anak ibu dari suami pertamanya sudah besar. Bahkan, anak pertamanya sudah menikah dengan seorang nelayan. Kemudian anak laki-lakinya sudah bekerja. Kerja apa saja jika ada yang memanggilnya. Hingga pada suatu hari, di sinilah awal mula aku akan hidup di dunia ini. terlahir dari rahim wanita wanita yang banyak menuai kebencian. saat itu, ibu sudah tinggal di rumah kontrakan. seorang laki-laki datang kepada ibu untuk meminangnya. Tanpa berfikir panjang, ibu menerima pinangan itu dan hidup bersamanya walau orang tua dan keluarga di kampung tidak mengetahuinya. Beberapa bulan setelah menikah, ibu hamil yang kelima kalinya. Anaknya bernama Aisyah itulah aku. Sungguh nasib sudah diatur  tuhan, saat umurku baru 3 tahun ibu dan ayah berpisah lagi karena satu masalah. Ayah pergi meninggalkan ibu dan aku. Kemudian ibu mengirimku ke kampung.
***
Tahun memiliki musim yang selalu  berputar kembali. Hari terus merayap tanpa henti. Garis tangan mengajarku mengeja tiap huruf kehidupan. Ada kala aku jenuh. Namun, tak pantas anak bergaris tangan liku sepertiku mengelak. Kusibak tiap keluh yang menghadang agar dapat kulihat jelas kehidupan yang samar di depan sana. Beberapa tahun telah berlalu, aku sudah tamat pada tingkatan SMP. Aku sangat bahagia. Tak ada yang dapat menggambarkan kebahagiaan ini. ternyata ibu datang dan mengajakku untuk sekolahkan di pesantren. Aku tidak pernah mengira bahwa ibu akan menyekolahkanku di pondok pesantren. Jika aku perhatikan ibu hanyalah sosok wanita yang tidak peduli masalah agama. Di benaknya hanya ada bagaimana bisa bahagia. Entahlah, apa rencana ibu. Siang itu setelah mendaftar, kami pulang ke rumah untuk beristirahat kemudian membereskan pakaian yang akan aku bawa kepondok.
***
Hari yang kunanti telah tiba. Pagi yang sangat cerah, suara lalu lalang kendaraan terdengar bagai gulungan ombak di pantai. Suara benda-benda di dapur mengajakku berfikir tentang perubahan ibu. Entahlah mengapa ibu memberiku perhatian.
pagi itu setelah sarapan, semua barang yang kuperkirakan akan kupakai di pondok sudah kumasukkan kedalam tas besar. Ibu sedang bersiap-siap di kamar dan aku  sedari tadi menunggu di ruang tamu.
“Mari!” kata ibu singkat. Ibu memang selalu dingin padaku. Sampai sekarang, Aku penasaran mengapa ibu tidak pernah memanjakanku.
“Mamu di sini harus sabar, inilah hidupmu semoga kamu betah di pesantren”. kata ibu meletakkan barang-barangku di ranjang yang bersusun itu. Mataku berkaca-kaca. Ingin kuberkata aku sangat menyayangimu. Tapi mulutku serasa kakuh.
“Uang ibu sudah tidak banyak jadi kamu ambil saja 20 ribu ini!” kata ibu sambil membolak balikn dompet merahnya.
Aku meraih uang itu dan mencium tangannya. “Uang ini cukup kalau besok lusa ibu datang”. Kataku dalam hati. Ibu meninggalkan asrama dan menyusuri lorong kecil hingga akhirnya hilang dari pandanganku.
***
            Seminggu sudah aku dipesantren, mengikuti semua kegiatan pesantren. Hari ini aku bingung. Uang 20 ribu pemberian ibu sudah habis. Padal masih banyak keperluan yang ingin aku beli.
Sore itu menjelang adzan magrib.
Aku duduk di jendela dekat ranjang. Menatap lurus ke jalan, menunggu ibu muncul. Namun setelah adzan harapan itu hilang. Serpihan kecewa terbentuk lagi dari ibu. Aku beranjak dan pergi ke masjid. Mencoba menenagkan hati.
Setelah beberapa hari barulah ibu datang. Ingin rasanya aku mengatakan  “ibu, aku sangat rindu” namun belum sempat aku mengutarakannya dia telah berlalu. Sampai sekarang aku tidak tahu, apa yang membuat ibu acuh padaku. Namun jika mengingat perjuangannya menyekolahkanku di pesantren, semua hal yang membuatku bertanya terjawabkan dengan satu jawaban “karena ibu banyak masalah”. Dan inilah terakhir kalinya ibu menjengukku di pesantren. Keperluanku hanya dikirim lewat mobil atau ATM.
***
                         Beberapa hari lagi acara penamatan akan dilaksanakan. Di sekolah sudah di umumkan bahwa semua santri harus memanggil orang tuanya. Aku berfikir dan bertanya apakah ibu akan datang, sedangkan aku sakit saja dia tidak datang. Lagi-lagi kuhela nafas panjang dan berkata “karena ibu banyak masalah”.
                               Hari yang dinanti telah tiba, acara penamatan sungguh sangat megah. Pejabat negara di undang untuk memeriahkan. Ada sedikit rasa sakit saat melihat teman-teman bersama keluarganya. Namun kutenangkan batinku dengan berkata “karena ibu banyak masalah”. Saat aku mengingat ibu dan menghayalkannya. Tiba-tiba saja aku  tersentak saat namaku dipanggil untuk naik ke atas panggung untuk menerimah penghargaan. Ternyata aku juara satu angkatan 2005. Mataku membelalak heran. Aku naik dipanggung dengan rasa bahagia bercampur sedih. Saat juara 1,2 dan 3 siap menerimah piagam, kami di minta untuk memanggil orang tua masing-masing. Aku hanya bisa tersenyum dan berkata “ibuku banyak masalah” semua orang mengerti dan aku pun tetap tidak ada perubahan. Diwajahku terpancar keceriaan meski harus kupaksakan. Setelah acara usai, segera kuhubungi ibu untuk memberi tahunya bahwa aku juara satu agar ibu bahagia dan bangga mempunyai anak sepertiku dan akhirnya aku dapat merasakan sentuhan cintanya yang sudah lama hilang. Dan dapat mengembalikann perhatiannya.  Segera kuhubungi nomornya.
                   “Hallo, ibu aku juara satu” kataku saat spontan tanpa salam
                   “Ini bukan ibu”kata seorang laki-laki. Kemudian mematikannya. Aku tahu laki-laki itu, dia suami ibu yang tidak pernah menyukaiku. Hatiku sakit, air mata mengambang di kelopak mata. Ibu, mengapa kau sangat jauh dariku. Bahkan sampai hari ini, hari di mana anakmu sudah lulus. Aku tertunduk dan berkata “karena ibu banyak masalah”.
Aku memilih ke kampung nenek. “Saya tidak ingin merepotkan ibu” batinku.
Di atas mobil menuju rumah nenek, aku selalu teringat dengan ibu. Ada segumpal rindu di hatiku yang entah mengapa rasanya sangat sakit sangat sakit. Ingin sekali kutatap wajah ibu yang selalu teduh karena banyak masalah.
Aku terkejut saat rumah nenek yang biasanya sepih, terlihat ramai. Aku melihat cucu nenek banyak yang datang. Aku masuk ke dalam rumah. Saat sampai di ruang tengah, kulihat semua keluargaku, dari tante serta suami dan anaknya berbincang penuh kebahagiaan. Ternyata hari ini nenek sedang mengadakan syukuran penambahan umurnya yang sudah memasuki 70 tahun. Aku segera menyambar tangan nenekku dan kuucapkan beberapa do’a untuknya. aku mulai tak nyaman saat salah seorang dari keluargaku menegurku.
“hanya ibunya Aisyah saja yang tidak hadir ya?” katanya sambil mengundang yang lain mengeluarkan cercaan pada ibu. Aku diam dan meminta izin ke kamar.
***
       Semua terasa panas. Sudah berapa tahun aku tersiksa sendiri. Apakah tidak yang peduli dengan perasaanku. Jika kuulang kembali tentang kehidupanku yang tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang seperti sepupu-sepupuku, aku serasa ingin bunuh diri saja. aku merasa berjalan sendiri. Tak ada yang peduli. Batinku bergejolak. Fikiranku memasuki ruang-ruang yang tak biasa kumasuki.
Malam itu entah setan apa yang memasukiku. Hingga kuikrarkan, orang-orang yang kuyakini karena mereka aku tidak bisa dekat dengan ibu, akan kubuat menyesal. Malam itu aku bukan lagi santri, tetapi setan. Aku muak, aku marah. Aku terlalu lama memendam semuanya.
Aku berfikir untuk kerja. Dari pada kuliah namun membuat orang-orang makin benci pada ibuku karena ibu tidak perna memberiku uang melainkan nenek. Semua keburukan dilimpahkan pada ibu. Banyalah pembicaraan orang-orang. Kejelekan ibu tidak ada habisnya di mata keluarga dan tetangga.
Ternyata nasibku tidak begitu jauh dari teman-teman yang lain. Setelah meyelesaikan bangku aliyah, ternyata ada seseorang yang kaya raya ingin menikahiku. Sebenarnya aku tidak mau dengannya, karena dia sudah tua. Umurnya 40 tahun lebih tua dariku. Namun aku berfikir. Mungkin inilah yang membuat hidupku berubah, bisa membayar semua pinjaman ibu pada tante-tantaku dan akan membuat orang-orang yang membuat ibu menderit akan jatuh miskin. Malam itu sambil berfikir, kurebahkan badanku di kasur yang sudah lama tidak kutempati.
***
Aku duduk bersamanya di pelaminan luar biasa. Seperti pengantin baru yang lainnya, setelah duduk di pelaminan bak ratu sejagat yang di soroti ribuan mata dan camera untuk mengabadikan moment indah itu, kami pun mengisi waktu dengan berbulan madu di hotel berbintang. Sungguh baru kali ini kurasakan menjadi orang kaya. itu semua karena suamiku. Suamiku sangat kaya. 12 mobil pribadi, rumah yang mirip istana dan apartemen yang biasanya adalah selera artis papan atas.
                Malam itu saat berjalan menuju restoran untuk dinner, duduk bersampingan diatas mobil. Suamiku bertanya.
                “Mau belanja apa?” katanya ala orang kaya
                “Apa yah…” belum sampai pikiran pada benda yang kuinginkan, dia pun membuka dompet dan memberikan semua ATMnya. Dia memberikan 20 ATM dari Bank yang berbeda. Wow..seumur-umur aku hanya punya ATM satu. Itu pun hanya untuk dikirimi uang.
                Tapi satu yang membuatku aneh, mengapa  dengan kekayaan ini aku tidak bahagia. Ditambah lagi orang tuaku bertanya
“bahagia jeki nak (apakah kamu bahagia)?” sejenak badanku seperti lumpuh. Aku seperti orang bodoh yang mengambil keputusan tanpa berfikir searif mungkin. Aku menangis. Yah…menangis sejadi-jadinya. Mana mungkin aku bisa menikah dengan laki-laki yang umurnya 40 tahun dariku. Apa gunanya aku sekolah 7 tahun di pesantren jika yang terjadi adalah menikah yang berbuah kesengsaraan.
 “Meskiku suami membalutiku dengan emas tak akan bisa membuatku suka padanya. Yah..Allah siapa yang dapat membantuku” rontahku saat duduk bersamanya.
                Waktu yang kutakutkan tiba, di kamar yang mewah dengan warna lampu yang romantis. Tapi tak berlaku untukku. Semuanya kacau. suamiku membuatku paranoit. Tiap gerakan badannya membuatku bertanya “Mau apa orang tua ini?” ujarku seraya mengambil jarak.  Aku seperti ada di dekat harimau.  Saat dia mendekatiku dan menyapa “sayang…..” aku terdiam lalu meminta izin untuk ke kamar mandi. Diapun mempersilahkan. Di kamar mandi itu aku berfikir “Apa yang harus kulakukan, ih…aku jijik" panikku.
"ih….dia bau tanah sekaligus bau bunga pula (bunga untuk kuburan) ” segera kurabah kantong rokku mengambil ponsel untuk menelpon Rahman orang yang selama ini kusuka. Namun, bibirku bergetar saat mendengar suaranya. Aku berfikir  “Emangnya orang peduli saat aku mengadu kalau seorang laki-laki ingin menyentuhku sedang dia suamiku” ah…badanku lemas. Dengan berusaha bangkit dan menghapus air mata kubuka pintu kamar mandi. Ah….ternyata kakek itu sudah menungguku kemudian melempar senyum sambil menampakkan wajah yang gemes padaku. Aku seperti afika yang ngetren dipanggil “afiiiiiiiiiiiiiiiiika” tapi kali ini dia memanggilku dengan versi “Aisyah......” oh…aku mau mati rasanya.
Siapa yang bisa menolongku. Badanku terasa berat bak memikul satu ton batu bara. Kupegang dinding kamar sembari berjalan mendekatinya. Saat tangannya ingin memegang rambutku, tanpa terasa aku jatuh dan menangis sekencang-kencangnya. Dia panik.
“kenapa, kamu sakit, sini" dia memegang tanganku. Segera kutarik tanganku lalu menatapnya. “aku mau minta cerai. Tapi, setelah cerai aku menjadi janda. Tak mungkin orang yang aku suka mau mendapatkan janda. Tapi lagi pula jika aku bertahan, sampai kapan wajah suamiku akan kusembunyi. Belum lagi teman-teman akan bertanya suamimu yang mana?” kataku dalam bisu.Oh….tidak. aku betul-betul menderita. dengan spontan aku berkata “aku mau cerai”. Suamiku tersenyum lalu memegang tanganku dan menciumnya. “Ih…..tidak” rontahku dalam hati. “kenapa kamu bilang seperti itu sayang?” oeee…aku pengen muntah mendengarnya. Segera kulepaskan tangannya lalu mengambil pakaian di lemari. Dia semakin tersenyum melihat tingkahku “kamu itu betul-betul masih kekanak-kanakan. Baru hal seperti ini  sudah mau pergi. Sini dekat sama aku” rayunya. Keringatku mulai bercucuran. Ibu aku takut.
                       Setelah kesabarannya habis, barulah dia memaksaku terang-terangan. Aku mundur selangkah demi selangkah. Aku tak menyerah untuk mencegahnya. Kusambar benda yang menurutku jitu  yaitu gunting. Tapi ternyata dia malah tertawa dan berkata “guntingnya disimpan. Malam seperti ini ga usah menjahit” aku makin naik pitan. Dia memelukku.”sorrrrrrttttttttt” kutusuk perutnya dengan gunting itu hingga darahnya mengenaiku. Aku panik dan akhirnya meninggal dia tergeletak.
                       Di perjalanan aku seperti orang gila. Di benakku  hanya ada kantor polisi dan neraka. Seperti yang lainnya setelah kurasa putus asa. Aku putuskan untuk bunuh diri. dan sekarang aku sedang berada di sebuah jembatan. Kulihat air dan batu yang ada di bawah jembatan sedang menungguku untuk lompat. “Ah….” aku menarik nafas dalam-dalam. Aku sudah merasa kotor. Tak  pantas hidup di dunia dan harapan orang tua pun semuanya hancur hanya karena menikah karena dendam. Aku bukan lagi perhiasan wanita sebagaimana sabda Baginda Rasulullah tetapi sudah menjadi sampah dunia. Setelah memejamkan mata dan menjatuhkan badan semuanya hilang. tak ada lagi yang kurasakan selain gelap.
“berrrrrrrrrrr” bunyi alarem mengagetkanku dengan jarum pendek mengarah ke 03.00. Huffft segera kubangkit dari pembaringan “ternyata semua mimpi”. Setelah shalat tahajjud kutunaikan, aku merenung sejenak tentang mimpi yang sedang kualami.  Mungkin  inilah jawaban atas niat yang tak baik. Niat menikah bukan karna Allah dan agama. Melainkan dendam kepada orang-orang yang selalu membuatku tertekan.  Hingga kuputuskan tidak menikah, melainkan kuliah dan mencari uang agar bisa membayar utang ibu.
Meski kusadari kasih dan sayang itu tak pernah hadir dalam hari-hariku, aku yakin Allah menyimpan cintanya padaku. Aku selalu menunggu agar ibu berubah. Dan akan terus menunggu Allah menjawab semua penantianku.


















“menanti sebuah perubahan, harus dengan kesabaran. Hanya niat yang ikhlas yang akan mendatangkan cinta dan kebaikan. Menanti ibu di sudut hati yang terdalam. menanti cintanya yang telah lama hilang””






0 komentar: